Tita Salina

Biner 1001

Jakarta masih menjadi pusat dari kontestasi narasi yang saling tarik-menarik antar kepentingan, walaupun tak lagi nyaman ditinggali karena gelombang urbanisasi sejak beberapa dekade lalu yang menjadikannya tumbuh melebar, memadat, dan mahal. Jakarta yang menyediakan segalanya harus menerima segudang sebab-akibat persoalan tumpang tindih pada usianya yang mendekati 500 tahun. Ambisi menjadi kota kelas dunia didorong oleh bertambahnya populasi, menuntut pembangunan pada semua lini yang eksploitatif. Tuntutan gaya hidup dan pasar global bebas yang mustahil dihentikan ini, sangat minim memperhatikan dampak lingkungan dan ekologi, alih-alih justru berperan memproduksi sampah tiada akhir.

Konservasi Mangrove di Muara Angke. Foto oleh Irwan Ahmett.

Setiap hari 8.000 ton sampah dibawa ke tempat pembuangan akhir di kota tetangga, menjadi gunung-gunung sampah, atau mengapung di muara-muara sungai seperti kepulauan. Teknologi pengolahan limbah yang belum efektif, manajemen sampah yang buruk, kesadaran yang rendah, dan daur ulang yang belum jadi budaya, membuat masalah ini semakin tak terkendali. Program normalisasi (betonisasi) 13 sungai di Jakarta untuk mengurangi endapan lumpur, sedimentasi, penumpukan sampah, dan luapan banjir sedang digalakkan walaupun masih diperdebatkan efektivitasnya, seperti dapat membawa dampak buruk pada kegiatan ekonomi warga yang bergantung pada perairan, ekosistem sungai turut hancur, serta lenyapnya beberapa spesies tumbuhan dan hewan endemik. Alih-alih membuat propaganda untuk mengubah perilaku terhadap sampah, pemerintah justru menyediakan pasukan kebersihan untuk mengeruk saluran-saluran air yang mampet karena sampah dan limbah. Rupanya kita telah “memunggungi” air, memilih untuk mementingkan tampilan yang terlihat, mengabaikan substansi masalah yang sebenarnya, menaruhnya di belakang agar semakin tak terlihat.

Karya 1001st Island—The Most Sustainable Island in Archipelago mendapat kesempatan berpameran di berbagai kota dan negara, terlebih karena sampah adalah isu warga dunia, menembus batas-batas negara. Polusi yang merusak laut dan menjadikannya tempat pemberhentian terakhir isi tong sampah kita adalah masalah global yang terjadi di mana-mana. The Great Pacific Garbage Patch adalah sebuah “benua” baru yang tercipta dari perputaran arus samudra membawa sampah, puing-puing dari seluruh dunia. Sampah plastik yang tak terurai terpecah-pecah dihantam gelombang samudra lalu menjelma menjadi partikel-partikel kecil yang disebut microplastics, semakin banyak ditemukan di dalam perut hewan-hewan laut akibat apa yang mereka makan tanpa mengetahui kandungannya. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan satu kesepakatan besar kolektif berskala masif. Namun, hingga saat ini belum ada yang menghasilkan manifestasi untuk memicu suatu gerakan, persoalan perbatasan wilayah negara yang terus berkepanjangan juga turut menghalangi dihasilkannya kesepakatan yang solutif. Yang ada adalah bisnis kirim-mengirim limbah dari negara-negara maju ke negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia, dengan dalih meningkatkan statistik impor nasional. Tampaknya begitulah kita menangani persoalan klasik ini, jadi jangan berharap banyak kita akan mampu mengatasi pandemi global apalagi krisis iklim.

Tidak terhitung inisiatif individu, komunitas, atau produsen skala menengah yang berkomitmen untuk mengurangi bahkan menghentikan penggunaan bahan sulit terurai seperti plastik dan styrofoam–material yang memang sangat ideal; murah, praktis, ringan, mencegah dari kotoran dan bau. Sayangnya, durasi pemakaian yang singkat membuat kita memproduksi sampah jenis tersebut dengan sangat cepat, bahkan di negara-negara yang sudah memiliki teknologi untuk mengolah sampah rumah tangga sampai radiasi nuklir.

Jakarta yang berlokasi di pesisir mungkin akan melepas statusnya, kalau ibu kota jadi dipindahkan ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Tahun 2019, wacana ini gencar disuarakan walaupun ide pemindahan ibu kota sudah ada sejak pemerintahan terdahulu, tetapi seiring masalah pandemi yang tak kunjung usai, sepertinya rencana ini turun prioritas. Di balik gedung-gedung pencakar langit, Jakarta menghadapi persoalan ekologi yang amat berat–seberat bebannya sebagai pusat pemerintahan dan bisnis.

Entahlah apa alasan ibu kota akan dipindahkan, mungkin Jakarta sudah terlalu tua dan lelah. Tahun depan saja umurnya genap 400 tahun, sebuah kota yang dulu bernama Batavia dan dirancang sebagai kota pelabuhan oleh VOC, dihuni oleh orang Eropa, Cina, Portugis, sisanya pekerja kasar dan budak dari Nusantara. Mungkin karena segudang masalah seperti abrasi di pesisir, naiknya permukaan air laut, penurunan tanah akibat penyedotan air tanah terus-terusan tanpa henti, banjir dan limbah industri, serta rumah tangga yang tak teratasi. Belum lagi krisis iklim di mana suhu bumi menghangat karena aktivitas manusia yang melepas karbon terlalu banyak ke atmosfer dari pembakaran bahan bakar fosil dan membuat suhu laut turut menghangat mengakibatkan volume laut mengembang dan permukaan air laut pun naik. Ancaman tenggelam semakin terlihat nyata dengan penurunan tanah rata-rata 17 sentimeter tiap tahunnya. Jakarta termasuk salah satu kota yang diramalkan tenggelam paling cepat, diperkirakan sepertiga area akan berada di bawah air pada 2050. Tindakan-tindakan pencegahan untuk mengatasi persoalan di atas sudah dilaksanakan sampai sekarang. Tembok-tembok laut setinggi 2-4 meter pelindung dari abrasi dan banjir rob dibangun sepanjang pesisir utara Jakarta menutup cakrawala dan memisahkan nelayan dari habitat dan perahunya. Sepanjang 9,3 kilometer tembok laut dari target 62 kilometer sudah terbangun, tetapi air akan selalu mencari jalannya. Pada akhir tahun 2019, 100 meter tembok laut setebal 1 satu meter roboh diterjang ombak Teluk Jakarta lalu perlahan miring tenggelam, kini dengan kemiringan yang “sempurna” serta sandaran yang nyaman dari patahan beton tebal si tembok laut malang, menjadikannya spot mancing paling mahal sedunia–di pinggir laut bebas serangan nyamuk. Biaya Rp1,5 triliun (US$105 juta) yang sudah dikeluarkan jadi terlihat sia-sia.

Jakarta tidak sendirian, kota-kota di belahan dunia lain, seperti Bangkok, Ho Chi Minh, Shanghai, Venice, dan Rotterdam (90 persen kotanya sudah berada di bawah permukaan laut) juga menghadapi persoalan yang sama. Mereka berlomba-lomba menyelamatkan kota dari tenggelam dengan meluncurkan proyek-proyek berbiaya luar biasa mahal, seakan berperan sebagai Tuhan walau sebenarnya kehancuran ekologi dan degradasi lingkungan tidak bisa dihindari, nilai mahal tersebut hanya mampu untuk mengulur waktu saja. Jadi, nasib si calon ibu kota baru kurang lebih akan berakhir sama demi ambisi untuk naik kelas menjadi negara menengah atas. Sudah terbayangkan pembangunan eksploitatif berkedok nasionalisme–terlihat dari rancangan arsitek kota dipenuhi dengan simbol-simbol persatuan yang utopis. Saya bersama Irwan akan membuat observasi khusus mengenai kawah-kawah bekas tambang di kawasan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur yang menyaru menjadi danau-danau beracun dan terus mengintai tumbal.

Sejauh ini laut hanya dipandang sebagai komoditas dan batas wilayah yang diglorifikasi sebagai kebanggaan negara, tanpa memedulikan kandungan dan manusia yang menggantungkan hidup dari laut. Cerita-cerita kepahlawanan menumpas musuh dan penjajah bahkan hampir seperti fiksi. Laut masih menjadi misteri besar. Pusat keramaian, bisnis, dan perumahan melebar ke selatan, semakin menjauh dari laut. Teluk Jakarta yang hitam, bau, dan penuh polusi membuat kita semakin memunggungi laut, menganggap laut sebagai tempat sampah raksasa. Ungkapan “ke laut aja lo!” semakin menegaskan sikap berjarak kita, bahwa laut adalah tempat buangan dan tak berarti. Pada umumnya hal-hal tentang maritim di Nusantara selalu memakai perspektif orang daratan. Seharusnya makna Nusantara (archipelagic state/archipelago) adalah “negara laut yang ditaburi pulau-pulau”, bukan “negara kepulauan yang dikelilingi laut.”1

Pulau Nirwana yang tenggelam. Foto oleh Irwan Ahmett 2019.

Dari perjalanan di pesisir Jakarta yang rutin dilakukan dalam dua tahun terakhir (Ziarah Utara), terdapat temuan menarik soal narasi-narasi yang salah kaprah dan salah persepsi saya sebagai orang daratan, mulai dari memaknai jam kerja, pasang surut, cuaca di laut dan darat, menyikapi sinar matahari dan sinar bulan, hingga kesadaran untuk mahir berenang. Di negara-negara lain yang wilayahnya dikelilingi air seperti Belanda, anak-anak usia sekolah wajib belajar berenang hingga mahir. Di kantong-kantong nelayan sepanjang pesisir Jakarta, saat matahari di atas kepala hingga menjelang terbenam, anak-anak berlompatan ke dalam air, bermain sembari mendinginkan badan. Orang tua mereka adalah nelayan-nelayan tradisional bermotor kecil yang hanya sanggup menyusuri laut dangkal tidak sebanding dengan kapal-kapal besar yang berlayar di laut dalam samudra lepas. Sayangnya, hampir semua perairan dangkal yang dekat dengan daratan, terpolusi parah termasuk ikan dan biota laut yang terkontaminasi logam berat. Pendapatan mereka bertolak belakang dengan jumlah ikan yang tak terhitung di lautan, sama nasibnya dengan petani. Rantai proses mulai dari menangkap ikan hingga tiba di meja kita sangat panjang. Sebagai tangan pertama nelayan mendapatkan pemasukan paling kecil, kondisi perekonomian keluarga nelayan tidak pernah meningkat, dan kemiskinan sistemik yang mengungkung, menimpa sebagian besar nelayan Pantura.

Tower penanda Pulau Nirwana. Foto oleh Irwan Ahmett.

Di tengah kondisi yang tidak mudah ini, pada 2014 terdengar kabar bahwa beberapa kapal nelayan Teluk Jakarta mengalami kesulitan menuju tengah laut karena ada orang-orang yang menghalau mereka dan perahu terpaksa lewat jalur memutar yang lebih jauh dari biasanya. Belakangan diketahui ada proyek menimbun laut dengan pasir terlihat dari kapal-kapal tongkang yang menyemprotkan pasir dalam jumlah sangat banyak, Pulau D atau Golf Island seperti yang diiklankan brosur marketing sedang dibangun. Pulau ini merupakan salah satu dari gugusan 17 pulau buatan/reklamasi yang rencananya akan dibangun di sepanjang Teluk Jakarta, bagian dari mega proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau lebih dikenal “Tanggul Laut Raksasa” yang bertujuan untuk melindungi Jakarta dari bencana banjir. Peruntukan pulau ini adalah memberdayakan kawasan pesisir, memperluas daratan Jakarta dan menambah lahan untuk bisnis dan hunian yang tidak murah. Para nelayan yang harus menambah ongkos bahan bakar perahu merasa keberatan karena jalur melaut terganggu, waktu tempuh lebih lama, tetapi jumlah hasil tangkapan tetap bahkan terkadang kurang, pendapatan mereka pun semakin kecil. Pada tahun 2016, ratusan nelayan “menyegel” pulau buatan lainnya, Pulau G yang masih berupa hamparan pasir. Protes keberatan atas proyek ini semakin tajam karena diyakini memengaruhi biota laut dan sedimentasi makin cepat terjadi, laut akan bertambah kotor. Tahun 2018 proyek reklamasi dihentikan, tetapi empat pulau yang sudah terlanjur dibuat (Pulau C, D, G, dan N) dapat diteruskan, bangunan-bangunan di atas Pulau D yang tadinya ilegal diberikan surat sah dan baru-baru ini kembali dipasarkan, sepertinya tak ada jalan lain yang win-win solution karena nilai uang yang dipertaruhkan sangat besar. Termasuk Pulau G, pada tahun 2019 kondisinya sudah compang-camping ketika saya lihat dari dekat, daratan pasir hasil pengurugan larut tergerus arus menjadi tempat pemberhentian burung camar dan bangau. Namun, dalam waktu dekat nasibnya akan berubah, Pulau G bakal menjadi sebuah pulau yang utuh karena perpanjangan izin untuk mereklamasinya tidak lama lagi akan turun.

Pulau G. Foto Irwan oleh Ahmett.

Ironi dari mega proyek pulau reklamasi ini adalah tujuh pulau dalam gugusan Kepulauan Seribu sudah tenggelam karena abrasi dan naiknya permukaan laut. Pulau-pulau itu adalah Ubi Besar, Ubi Kecil, Nirwana, Dapur, Payung Kecil, Air Kecil, dan Nyamuk Kecil. Pulau Ubi Besar dulunya berpenghuni, ketika pulau semakin tidak aman ditinggali akibat penambangan pasir untuk pantai buatan dan bandara internasional Soekarno-Hatta, warga secara bertahap pindah mengungsi sebagai climate refugee ke Pulau Untung Jawa dari tahun 1952-1954. Pulai Ubi Besar yang mengalami penyusutan terus-menerus itu akhirnya tenggelam. Kini sudah berada empat meter di bawah permukaan air, yang terlihat hanyalah koral-koral mati memutih, sedikit pun tidak ada sisa reruntuhan peradaban manusia. Sebelum tenggelam total, Pulau Ubi Besar menyimpan satu cerita pilu. Pada tahun 1962, keadaannya sudah kosong dan gersang hanya ada sebatang pohon kresek, di bawahnya terdapat makam seorang pejuang kemerdekaan, Kartosuwiryo yang memimpin pemberontakan DaruI Islam/Tentara Islam Indonesia (1949-1962). Bersama pengikutnya, Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Setelah bergerilya bertahun-tahun dan bersembunyi di gunung, akhirnya beliau menyerah dikepung oleh militer dan rakyat sipil. Beliau menjalani pengadilan militer dan dijatuhi hukuman mati. Keluarga Kartosuwiryo sebelumnya hanya tahu bahwa pelaksanaan eksekusi dan pemakaman dilakukan di Pulau Onrust, mereka selalu berziarah ke sana, hingga pada tahun 2012 ditemukan foto-foto dokumentasi eksekusi (dibukukan oleh Fadli Zon) dan terungkaplah di mana lokasi sebenarnya yaitu di Pulau Ubi Besar. Pulau tersebut benar-benar lenyap pada tahun 1980-an, sewaktu saya ke sana mengikuti titik koordinat, menara suar juga sudah lenyap, roboh, berkarat. Bahkan sejarah pun menolak mengingat jejak tokoh salah satu pemikir bangsa yang selalu gelisah ini.

Bersama Irwan, kami membuat performance intervention “The Undertow of Sorrow”2 dengan memanfaatkan tarikan pusaran arus tepat di atas Pulau Ubi Besar, mewujudkan pertemuan tiga elemen: perasaan manusia, kehancuran ekologi, dan benturan ideologi, sekaligus sebuah ziarah pada kisah pulau-pulau yang hilang tenggelam.

Pulau Ubi Besar-1962. Foto koleksi Fadli Zon.

Cerita sebaliknya, dari ujung timur Jawa muncul pulau termuda yang lahir dari semburan lumpur yang tak berhenti sejak 2006. Sebuah bencana buatan manusia yang melenyapkan belasan desa, ratusan ribu orang mengungsi, ribuan hektar lahan produktif padi dan tebu, serta ribuan ternak lenyap. Memori kampung halaman hilang, tidak hanya itu nama-nama desa pun dilenyapkan dalam catatan negara digantikan oleh narasi pulau baru berwujud hutan bakau hijau. Para petani yang kehilangan sawah harus mencari sumber ekonomi lain, berganti profesi menjadi pebisnis sewa perahu dan tukang ojek untuk mengantar wisatawan. Tidak diketahui apakah daratan hasil sedimentasi ini akan membesar karena sampai hari ini lumpur di sekitar Pulau Lusi (Lumpur Sidoarjo) masih menyembur. Empat belas tahun berlalu, penyelesaian ganti rugi kepada warga belum tuntas, proses negosiasi berjalan sangat lambat, musibah bencana ini sepertinya akan tertutup terbenam oleh rimbunnya hutan bakau. Lagi-lagi sebuah ironi, bahwa bencana yang jelas-jelas merusak ekosistem dan lingkungan, serta masuk kategori kejahatan korporasi ini dapat berubah menjadi lahan penghijauan dan penyelamatan pesisir yang didukung penuh pemerintah. Ilusi si Pulau Lusi.

Menghuni tanpa izin dalam bagang tancap. Foto oleh Irwan Ahmett.

Laut yang kita punggungi semakin meninggi dan mengairi daratan, sepertinya membalas perlakuan kita terhadapnya. Peristiwa perubahan iklim, pemanasan global, dan jejak karbon dalam rentang kehidupan kita yang pendek ini memang terasa lambat dan ketika nanti kenaikan air laut sungguh terjadi dan semakin banyak lahan-lahan yang tenggelam, saya yang takut air dengan kemampuan berenang pas-pasan–tak sebanding dengan anak-anak pesisir atau bayi yang menyelam mengejar dolar seperti pada cover album Nirvana–akan mengandalkan pulau limbah plastik tak terurai (yang dapat saya legalkan karena IMB dihapus di UU Cipta Kerja), dapat menyelamatkan saya karena mereka terapung dan lestari.

Atau mungkin evolusi Homo sapiens sedang terjadi karena kita mengkonsumsi ikan-ikan yang mengandung microplastics, yang bahkan sudah ditemukan di tubuh bayi yang baru-baru ini lahir. Mutasi genetik akan terjadi cepat atau lambat dengan meningkatnya polusi, virus-virus baru muncul, dan bumi yang menghangat akan mempercepat akselerasinya. Antroposentris, saat manusia menjadi pusat dari segalanya dalam semesta ini, jelas-jelas bermasalah. Lihat saja perlakuan brutal kita terhadap alam dan makhluk lainnya dengan segala hukum-hukum ciptaan manusia seperti moral, agama, negara, dan warna kulit untuk menaklukkan alam, walaupun terbukti bahwa untuk menaklukkan virus yang tak terlihat saja, kita tidak mampu. Mengharapkan kemunculan goodwill sepertinya akan sia-sia, jadi lebih baik kita serahkan kepada hukum-hukum alam yang tidak kompromis dan biarkan evolusi mengambil alih semuanya.

Dalam praktik Tita Salina, intervensi, pemasangan, dan gambar bergerak bersatu dalam menanggapi masalah spesifik lokasi yang memiliki gaung global. Pulau ke-1001 - pulau paling lestari di nusantara 2015 mengeksplorasi masalah transnasional dari pencabutan hak masyarakat, pencemaran lingkungan dan korupsi pemerintah yang terwujud dalam rencana besar pemerintah Indonesia untuk restorasi dan pembangunan kembali Teluk Jakarta. Pameran terbarunya yang penting terbaru antara lain ‘Bangkok Art Biennale’, Bangkok Art and Culture Center, Bangkok (2020); The Coming World: Ecology as the New Politics 2030–2100, Garage Museum of Contemporary Art, Moscow, Rusia (2019); Irwan Ahmett dan Tita Salina: The Ring of Fire (2014 – sedang berlangsung), NTU Centre for Contemporary Art Singapore, Singapore, Singapore (2019); From Bandung to Berlin: If all of the moons aligned, SAVVY Contemporary , Berlin, Jerman (2016).