Mira Asriningtyas

Anak Cucu Gunung Merapi—Mari Berkumpul!

1/
“Sihir, yang kemudian, dalam pengertiannya yang paling primordial, adalah pengalaman berada di dunia yang terdiri dari berbagai jenis kecerdasan, intuisi bahwa setiap bentuk yang seseorang rasakan adalah bentuk pengalaman, sebuah entitas dengan prediksi dan sensasinya sendiri, meskipun sensasi itu sangat berbeda dari yang kita alami sendiri.” – David Abram1

———

Ketika masih kecil, ada malam-malam khusus ketika orang tua saya mengizinkan saya dan adik-adik terjaga melewati jam tidur kami, untuk kemudian membawa kami berjalan-jalan, mengunjungi kerabat, makan di luar, dan kemudian yang selalu kami nanti saat perjalanan pulang: pemandangan lava pijar di kejauhan. Ada beberapa spot favorit utama untuk menonton ‘pertunjukan’ alam ini: di pinggir jalan, dekat sungai, dekat persawahan, dan di atas bukit. Bermain mata dengan bahaya dari jarak yang aman. Namun, sebagai anak kecil, saat itu kami tidak mengkhawatirkan bahayanya. Almarhum ayah kami berkata, selama lava pijar terus mengalir, gunung berapi ini tidak tersumbat, oleh karena itu tidak berbahaya. Hal yang naif untuk dikatakan, tetapi kami tetap memercayainya. Bagi kami, keseruan melihat lava pijar yang bergulir perlahan rasanya seperti menyaksikan pertunjukan kembang api. Dengan mata berkilauan, kami menatap keindahan gunung berapi yang megah. Adik perempuan saya akan duduk di bahu ayah untuk mendapatkan pemandangan yang lebih baik dan saya akan duduk di atas kap mobil yang hangat. Ibu kami akan terus mengingatkan untuk tidak mengarahkan jari kami ke arah gunung Merapi karena dianggap tidak sopan. “Sama tidak sopannya seperti menunjukkan jari pada kakek-nenekmu,” katanya.

Letusan Gunung Merapi yang pertama saya alami terjadi pada suatu hari yang biasa saja di tahun 1994. Saya masih berumur 8 tahun. Kami berada di kelas ketika kepala sekolah datang dan berkata kepada ibu guru dengan tenang namun tegas: “Simbah watuk, kabeh kon cepet langsung bali (Kakek batuk, sekarang semua harus langsung pulang).” Guru tidak ingin membuat kekacauan, sehingga dengan gugup dia berkata, “Anak-anak, kelas dibubarkan. Semua sekarang harus pulang dengan hati-hati, langsung menemui orang tua kalian masing-masing, secepat mungkin”. Saya berjalan pulang dengan empat teman yang tinggal berdekatan, bersama banyak pertanyaan dalam benak saya. Kami melihat kepulan asap hitam membubung dari gunung berapi. Di jalan, ada banyak orang. Para tetangga berkumpul di luar dengan ekspresi khawatir di wajah mereka. Saya melihat bibi saya memegang tangan adik perempuan saya yang berusia 2 tahun, sambil menggendong adik perempuan kami yang baru lahir. Saya tidak bisa menahan pertanyaan saya lebih lama lagi. Siapakah ”Kakek” yang batuk? Awan berwarna abu-abu gelap apa yang bergelung di atas desa kita? Mengapa orang-orang terlihat panik? Apa yang sedang terjadi?

Erupsi Gunung Merapi tahun 1994 dilihat dari Kaliurang (foto dari BPPTKG oleh M. Marshall)

Bibi saya, seorang pendongeng, meminta kami semua duduk dan memulai kisahnya dengan suara berbisik, “Biarkan saya memberitahu kalian sebuah rahasia keluarga. Tiba saatnya bagi kalian untuk menyimpan kisah ini dan memegangnya erat dalam hati untuk saat-saat seperti ini. Alkisah di gunung Merapi, ada sebuah kerajaan tempat nenek moyang kita tinggal dan bekerja. Kita, penduduk desa lereng Merapi, adalah cucu dan cicit dari gunung Merapi. Kita menghormatinya, dan sebagai gantinya, kita dilindungi. Jika Kakek kita “batuk”, sedang terjadi pembangunan dan perbaikan di kerajaan itu dan kita harus menyingkir untuk sementara waktu”. Ada lebih banyak lagi cerita tentang ini, lebih banyak dongeng dan adat istiadat yang saya pelajari sepanjang sisa hari itu. Namun sebelum itu, bisikannya diinterupsi oleh beberapa mobil dan ambulans yang bergegas dari sisi utara desa membawa korban. Rupanya, alih-alih “menyingkir”, beberapa turis yang awam memutuskan pergi lebih tinggi untuk mendapatkan tampilan awan panas yang lebih jelas dan lebih dekat. Saat itulah angin bertiup ke arah mereka, membawa nuée ardente2 yang oleh penduduk setempat disebut sebagai “wedhus gembel (domba dengan rambut gimbal)”. Selama seminggu setelahnya, seluruh desa dievakuasi ke jarak yang lebih aman. Minggu-minggu berikutnya, ayah kami dan beberapa pria lain di desa berpatroli pada malam hari dalam kelompok ronda (jaga malam), menciptakan sistem perlindungan masyarakat dengan kode dan suara dari kentongan. Selama kentongan tidak dibunyikan, penduduk desa bisa tidur dengan nyenyak dalam kehangatan rumah mereka.

Setelah pengalaman pertama letusan Gunung Merapi ini, saya mengetahui bahwa gunung berapi dan segala sesuatu di sekitarnya dianggap sebagai makhluk hidup—semua bebatuan, kerikil, pohon, binatang, gunung, sungai, hujan, alam, dan spesies lainnya memiliki roh, kecerdasan, dan kekuatan. Orang-orang di sekitar gunung berapi percaya bahwa mereka berbagi ruang hidup tidak hanya dengan hewan dan tumbuhan, tetapi juga dengan roh leluhur, dewa, dan makhluk gaib serta pelindung alam. Hidup berdampingan, penting untuk menghormati dan melindungi yang hal-hal terlihat dan yang tidak terlihat, demi menjaga keseimbangan dan timbal balik. Kearifan ekologis ini menghasilkan kawasan sakral 3 yang tetap murni dan terlindungi. Setelah hari itu, cerita pengantar tidur kami berkisar antara tulisan Hans Christian Andersen dan Enid Blyton, hingga dongeng lisan tentang kerajaan mitos Gunung Merapi dan Sing Bahureksa (Yang Menguasai Gunung Merapi).

Kami mendengarkan dengan penuh semangat saat orang tua kami menceritakan kisah tentang hewan milik Sing Bahureksa yang hidup di Gunung Merapi—dari ikan yang berkedip, katak pelindung, hingga hewan yang dianggap lebih sakral dari yang lain, seperti kuda liar yang tinggal di Hutan Patuk Alap-Alap, dan macan putih yang tinggal di Hutan Blumbang 4 (kedua “hutan” tersebut terletak di ambang mitos dan kenyataan). Nyatanya, macan putih bukanlah hewan yang biasa ditemukan di Pulau Jawa, tetapi Macan Putih Gunung Merapi diyakini sebagai makhluk mistis—penampakan leluhur yang melindungi penduduk desa di lereng Merapi. Beberapa orang yang benar-benar bertemu dengan macan putih mengatakan bahwa mereka memberi peringatan kepada pendaki gunung dan adalah tabu untuk menangkap atau membunuhnya. Saat pendaki bertemu dengan macan putih di jalan yang mereka lewati, pendaki harus kembali ke tempat asalnya, mengubah rute, atau segera pulang ke rumah. Jika tidak, mungkin akan ada kemalangan atau bahaya yang mengintai di depan mereka.

Sementara itu, hewan nonmitos lain milik Penguasa Gunung Merapi berperan penting sebagai sistem peringatan dini letusan Gunung Merapi. Saat letusan sudah dekat, binatang buas/ liar akan keluar dari persembunyiannya dan masuk ke desa. Menurut kepercayaan penduduk setempat, hewan-hewan ini dikirim oleh Sing Bahureksa untuk memberi peringatan—memberi tahu masyarakat bahwa sudah waktunya bersiap dan mengungsi karena letusan sudah dekat. Perilaku hewan yang tidak biasa sebagai sistem peringatan dini, yang digunakan untuk memprediksi bencana yang akan datang, tidak hanya terjadi di lereng Gunung Merapi. Bukti anekdot dari seluruh dunia menceritakan kisah hewan yang melarikan diri dari gempa bumi, tsunami, badai, dan letusan gunung berapi, bahkan sebelum bencana alam benar-benar terjadi. Meskipun beberapa ilmuwan masih skeptis terhadap hal ini, secara umum, hewan memiliki naluri yang tinggi, mampu merasakan perubahan sekecil apa pun di lingkungannya, dan juga merasakan sinyal geofisika dengan cara yang lebih maju dibandingkan manusia. Selain perilaku hewan yang tidak biasa sebagai sistem peringatan dini, terdapat juga sistem pengetahuan lokal lain yang diturunkan antargenerasi untuk membaca tanda-tanda awal suatu letusan. Sehingga, setelah bertahun-tahun mengalami siklus letusan secara langsung, penduduk setempat memiliki ingatan taktil tertentu seperti kemampuan merasakan panas dan kenaikan suhu tiba-tiba, mengenali suara gemuruh batu berguling dari kejauhan, atau merasakan sensasi gatal pada kulit ketika lapisan tipis abu mulai berjatuhan dari sisa nuée ardente.

Dalam sistem pengetahuan lokal Jawa terdapat proses pembelajaran yang dikenal dengan istilah ‘niteni, niroake, nambahi’5. Pertama, niteni, artinya mengamati (diterapkan sebagai ”ilmu titen”, ilmu tradisional Jawa yang didasari oleh kepekaan terhadap tanda-tanda alam, ciri-ciri, dan pengamatan berulang-ulang untuk membaca fenomena alam yang terjadi sebelum bencana.) Kedua, niroake, artinya meniru (langkah selanjutnya yang perlu diambil seseorang untuk memperoleh perubahan setelah mengamati). Ketiga, nambahi, artinya menambah nilai (upaya memastikan ketepatan waktu dan konteks dalam menyikapi peristiwa alam yang telah diamati, dipahami, dan dikendalikan melalui dua langkah sebelumnya). Pengetahuan ini diturunkan dari generasi ke generasi menggunakan cerita rakyat, dongeng sebelum tidur, dan anekdot. Kisah-kisah ini juga berbagi cerita tentang hutan sakral dan daerah-daerah yang dianggap angker seperti sungai dan tebing di mana orang dilarang menebang pohon atau rumput, dilarang membuang sampah sembarangan, atau mencemari hutan dengan cara apa pun. Hal itu membuat saya mempertanyakan apakah mitos, cerita, dan takhayul merupakan cara orang-orang pada masa lalu menerjemahkan “logika” dan “pengetahuan” sebelum pemikiran seperti itu digolongkan dalam istilah-istilah standar “ilmiah” yang “universal”?

 

2/
Sejak kecil, saya belajar bahwa dongeng tentang Gunung Merapi diceritakan dan diucapkan sebagai pengandaian (misalnya, “Kakek sedang punya hajat”) dan simbol. Dongeng peringatan ini diceritakan sebagai kisah dan perumpamaan yang berisi nilai-nilai dan pengetahuan beranotasi yang luhur dan terkadang abstrak. Ahli “bahasa” itu adalah Mas Penewu Suraksohargo atau lebih dikenal dengan Mbah Maridjan, yang merupakan perantara 6 dan penjaga gerbang spiritual Gunung Merapi. Ia diangkat menjadi Juru Kunci Gunung Merapi pada tahun 1982 setelah ayahnya meninggal, yang juga bergelar Suraksohargo (“Penjaga Gunung”). Ketika dia tidak sedang membuat salah satu lelucon yang menghangatkan hati, dia berbicara dalam kode-kode rumit yang uniknya, terdengar sederhana sekaligus filosofis. Matanya berkilau dengan kecerdasan dan wajahnya dipenuhi dengan senyum hangat. Ia lahir dan menghabiskan seluruh hidupnya di Kinahrejo—sebuah daerah kecil di Desa Kaliadem yang hanya berjarak 4,7 km dari kawah Gunung Merapi.

———

Saya pertama kali bertemu Mbah Maridjan pada tahun 2004, bersama dengan sekelompok pecinta lingkungan setempat. Saat itu, dalam perjalanan menuju Kinahrejo, terdapat gapura yang kini digunakan untuk gerbang retribusi wisatawan saat memasuki kawasan tersebut. Melewati gerbang itu dulu terasa seperti memasuki desa keramat dari waktu yang berbeda. Seiring dengan kendaraan yang membawa kami naik, jalan menjadi semakin sempit dan pepohonan semakin tinggi sehingga membatasi penglihatan periferal sehingga fokus kami berpusat pada jalur perjalanan di depan sana, meninggalkan hiruk-pikuk perkotaan. Hilang sudah bombardir dari iklan-iklan, polusi udara, dan jejak kehidupan perkotaan. Pengalaman itu begitu mendalam dan kami merasa seolah-olah dipersilahkan masuk oleh kekuatan lebih tinggi yang memelihara dan melindungi. Mbah Maridjan tinggal di ujung jalan itu.

Dia menjalani kehidupan sederhana yang tercermin pada kehidupan penduduk desa di sekitarnya. Prinsipnya sebagai penjaga, tidak hanya bagi Gunung Merapi tetapi juga sebagai penjaga alam, adalah untuk tidak menjual apa pun di Kinahrejo—tidak untuk pariwisata, atau untuk industri ekstraksi sumber daya alam. Saya ingat hal itu merupakan perwujudan dari ungkapan Jawa klasik “Adoh Ratu cedhak watu (Jauh dari Raja, lebih dekat ke batu)” yang memberikan visual jarak geografis antara pusat pemerintahan (Kerajaan) dan gunung, di mana orang belajar dari kehidupan dan alam (sehingga memiliki pemahaman yang lebih baik atas hubungan timbal balik antara manusia dan nonmanusia daripada memprioritaskan statistik, kebijakan pemerintah, atau mediasi teknologi pada realitas). Mbah Maridjan meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengungkapkan perbedaan pendapat berdasarkan pengalaman yang diperoleh dan pengetahuan pribadinya masing-masing. Dia percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang lebih unggul dari yang lain. Sebaliknya, masing-masing menambah nilai bagi yang lainnya. Salah satu pepatah terkenalnya adalah, “Saya hanya orang bodoh, karena orang bodoh akan bersyukur memperoleh apa yang dimilikinya, sedangkan orang pintar akan menginginkan lebih. Dan sebagai warga yang tidak berpendidikan, saya mencoba untuk ngombe roso (mengasah kepekaan saya), ngombe pangerten (mempertajam pemahaman saya), dan ngombe lelakon (mempelajari jalan hidup). Jadi, saya secara sadar berusaha untuk tidak hanya hidup (sekadar bernafas), tetapi juga memiliki hidup yang bermakna” 7.

Mengambil posisi sebagai “orang bodoh”, dia tidak mudah dipengaruhi dan setia pada keyakinannya bahwa alam akan menyediakan kebutuhan manusia dan membuat manusia tetap aman selama mereka melindunginya. Mbah Maridjan sendiri adalah seorang pencinta lingkungan yang gigih melindungi desa dari industri pertambangan pasir yang bersifat ekstraktif saat ini—terutama mereka yang menggunakan mesin-mesin besar dan proyek pembangunan pemerintah yang merusak lingkungan setempat. Keyakinannya menyebabkan beberapa friksi antara dirinya dan pemerintah Indonesia. Perselisihan yang paling terkenal adalah yang dia alami dengan Sultan Yogyakarta pada tahun 2006. Segera setelah tidak mematuhi perintah pemerintah untuk mengungsi, ketika tingkat aktivitas Gunung Merapi dinaikkan ke level tertinggi, dia menjadi ikon yang populer. Dia menolak untuk meninggalkan gunung berapi itu karena dia percaya bahwa tugasnya adalah untuk menjaga keamanannya, dan nalurinya yang terasah tajam mengatakan kepadanya bahwa belum waktunya untuk mengungsi. Sultan Yogyakarta sangat marah dan pergi ke desa untuk bertukar pikiran dengannya, tetapi dia menyatakan bahwa dia hanya akan mematuhi keputusan Sultan sebagai seorang raja8. Yogyakarta merupakan daerah istimewa yang mengakui Sultan Yogyakarta sebagai raja dan gubernur sekaligus. Mbah Maridjan menganggap perintah sultan untuk mengungsi itu sebagai ucapan seorang gubernur, tapi bukan keputusan seorang raja. Seorang gubernur lebih suka mendengarkan data ilmiah, sedangkan raja akan mendengarkan tanda-tanda alam.

Firasat Mbah Maridjan terbukti benar. Saat letusan akhirnya terjadi, kerusakannya tidak signifikan. Sementara semua orang sibuk mengamati gunung berapi dan mengalihkan pandangan mereka ke bagian utara Yogyakarta, gempa bumi 5,9 Skala Richter melanda bagian Selatan Yogyakarta, yang merenggut lebih dari 3.000 jiwa hanya dalam 57 detik saja. Orang-orang yang tinggal di bawah Gunung Merapi terhindar dari bahaya. Mbah Maridjan kemudian dielu-elukan sebagai pahlawan rakyat, pembangkang yang berani melawan pemerintah. Desas-desus tentang kekuatannya tersebar luas—tentang dia yang bisa berjalan tanpa alas kaki di tanah panas yang terbakar oleh aliran lahar; dia yang selalu bisa menemukan orang hilang di hutan Gunung Merapi; dia yang bisa tiba-tiba berpindah dari rumahnya ke istana Sultan yang berjarak 30 km; dia yang bisa membaca tanda-tanda alam lebih akurat dari siapapun, dan seterusnya. Pendaki gunung, penduduk desa, dan orang-orang yang secara pribadi mengenalnya dengan penuh semangat membagikan bukti anekdot mereka tentang kekuatannya. Tak lama kemudian media tiba, mereduksinya menjadi ikon dan sensasi media yang didefinisikan oleh satu momen ketidaktaatan saja. Ketenaran yang tidak diinginkan ini mengabaikan pengetahuannya yang berakar dalam dan kebijaksanaan yang terasah melalui pengalaman bertahun-tahun. Sorotan ini bertentangan dengan keinginannya. Tak lama kemudian, pintu gerbang ke desanya dijaga oleh warga sekitar. Tidak ada media, tidak ada penggemar, tidak ada oportunis yang mencari restu, atau orang asing yang bisa bertemu dengannya. Dia mencoba bersembunyi dari sorotan tetapi sorotan itu terus kembali. Ketenaran adalah mata uang berbahaya yang pengaruhnya perlahan menggerogotinya dari dalam. Senyuman hangat ikonik dan kilau cerdas di matanya menjadi redup. Jauh sebelum letusan Gunung Merapi yang dahsyat tahun 2010 merenggut nyawanya, semangatnya perlahan mulai memudar.

Kematiannya menandai akhir dari sebuah era. Bersamanya, hilanglah spiritualitas suci yang digunakan untuk mengurung desa yang tidak menjual apa-apa. Sekarang, semuanya ada untuk dijual. Elizabeth Inandiak, seorang penulis dan teman baik Mbah Maridjan, bersimpati pada situasi beliau di tahun-tahun akhir kehidupannya. Dalam bukunya yang berjudul Babad Ngalor Ngidul9, ia menulis: “Setelah dimurnikan dengan abu, tanah Kinahrejo dikotori dengan sampah plastik yang melimpah, yang mencekik napas pohon yang baru ditanam. (Itu adalah) bencana susulan. Bekas desa keramat di bawah Gunung Merapi menjadi pasar besar dan gunung berapi ini menjadi komoditas utamanya.”10

 

3/
“Setiap upaya untuk secara definitif mengatakan apa itu bahasa tunduk pada batasan yang aneh. Karena satu-satunya media yang dapat kita gunakan untuk mendefinisikan bahasa adalah bahasa itu sendiri. […] Maka, mungkin yang terbaik adalah membiarkan bahasa tidak terdefinisi, dan dengan demikian mengakui keterbukaannya, kemisteriusannya.”11

———

Saat saya menulis ini pada Januari 2021, gunung Merapi sedang bergemuruh. Meningkatnya aktivitas Gunung Merapi menandai akhir dari penelitian dan perjalanan kami di bawah gunung Merapi. Status aktivitas gunung berapi tersebut telah dinaikkan menjadi level III dari total IV level pada 5 November 2020. Pada 23 November, ada kabar bahwa satu keluarga macan tutul jawa sudah berkeliaran di jalan desa terdekat,12 sesuatu yang diyakini masyarakat menunjukkan bahwa letusan sudah dekat. BPPTKG (Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi) mengklarifikasi bahwa masyarakat harus tetap tenang dan keberadaan satwa liar di desa tidak mengindikasikan adanya perubahan status yang serius. Mereka membuat pernyataan lanjutan yang mengatakan bahwa jejak kaki “macan tutul jawa” mungkin sebenarnya jejak kaki seekor anjing.13. Itu adalah peringatan palsu.

Di sisi lain desa, orang-orang sudah mulai memarkir mobilnya mengarah ke Selatan, siap mengungsi; koran bekas diremas untuk menutup saluran udara rumah untuk meminimalkan kerusakan jika desa dilanda hujan abu; dan pada malam hari, orang-orang berkumpul di sekitar api unggun untuk menjaga penduduk desa, duduk menghadap gunung Merapi untuk mengantisipasi jika terjadi kegagalan dalam pemantauan ilmiah. Bahkan setelah beberapa tahun dengan aktivitas yang relatif landai, orang-orang masih mengingat tugas sehari-hari yang perlu dilakukan setiap siklus letusan kembali hadir. Yang berbeda sekarang adalah suara dan video siaran langsungnya. Tidak ada lagi suara HT (Handie Talkie) dan stasiun radio darurat, seperti sebelum 2010. Orang-orang saat ini mengikuti setiap gerakan dan setiap suara gunung Merapi melalui saluran YouTube resmi dan nonresmi, yang menayangkan CCTV langsung dari berbagai sudut,14 dan dapat diakses dari seluruh dunia. Ada ribuan orang yang menonton siaran langsung seperti itu setiap malam dan siang selama aktivitas Merapi meningkat, dan kolom live chat menjadi sangat sibuk, mengomentari setiap pergerakan gunung berapi ini sambil menganalisisnya seperti kolom gosip hangat selebritas.

Siaran langsung Gunung Merapi di ruang tamu penduduk. Foto oleh Granita Elsara.

Saya ingin tahu apa pendapat Kakek kami, Sang Gunung Merapi tentang ketenarannya. Padahal dahulu kala kami dianggap tidak sopan untuk menatap atau menunjuk langsung ke arah gunung Merapi. Ada juga saat-saat ketika beberapa tempat sakral masih menjadi misteri. Sekarang, bahkan pemandangan Pasar Bubrah (yang dianggap sebagai pasar hantu) disiarkan langsung 24 jam, tujuh hari seminggu, di mana para ilmuwan, dengan perangkat mewah mereka di helikopter, melaporkan hasil dalam seminar Zoom hampir setiap hari yang dapat diikuti publik melalui saluran YouTube resmi BPPTKG. Tautan ke seminar web ini juga dibagikan dengan grup WhatsApp penduduk desa, yang merupakan pengikut setia. Percakapan selama ronda sekarang terdiri dari istilah-istilah ilmiah, seperti perubahan morfologi dan deformasi bentang alam sementara tafsir mimpi para perantara diganti dengan obrolan tentang analisis ilmiah kemungkinan terjadinya longsoran, berbagai jenis gempa, juga panjang dan arah letusan. Seolah-olah gunung Merapi kini tampak sepenuhnya dapat dipahami dan transparan, meskipun tidak dapat diprediksi. Diskusi yang dingin dan klinis tersebut juga membuat Gunung Merapi terasa jauh dan terlepas dari kehidupan.

“Titik api diam” dilihat melalui beberapa kamera siaran langsung BPPTKG pada malam hari.

Pada 4 Januari 2021, terlihat “titik api diam”15 di dinding kawah puncak Gunung Merapi, menunjukkan bahwa kita sekarang memasuki fase letusan baru. Namun baru ketika lava pijar mulai mengalir ke sisi Barat Daya Gunung Merapi, kami menyadari betapa kami telah merindukan kenangan masa kecil beruoa pertunjukan malam yang spektakuler! Sebagai “makhluk hidup”, pola letusan gunung Merapi dan aliran lava ini pun terus berubah. Alhasil, pertunjukan malam lava pijar yang dulu terlihat dari Kaliurang sempat berhenti sekitar tahun 2001. Setelah 20 tahun, kini ia kembali hadir! Hal ini membuat kami, cucu-cucu Gunung Merapi, bersemangat. Alih-alih menonton siaran langsung secara digital lewat ponsel atau TV, kami sekali lagi pergi keluar di malam hari untuk menonton dan mengenang masa kecil kami. Kami sekali lagi berkumpul di sekitaran api dengan teh panas dan mie rebus, menceritakan kisah para dhanyang dan penguasa gunung ini. Perlahan, perasaan kedekatan dan pemahaman taktil yang dulu membuat kami merasa aman kini kembali. Sekali lagi, gunung Merapi terasa akrab, tidak lagi menakutkan.

Lava pijar dilihat dari GOR di Kaliurang. Foto oleh Bernhard Awuy, 2021.
Mira Asriningtyas bekerja sebagai kurator dan penulis independen. Ia menyelesaikan Program Kuratorial De Appel pada tahun 2017 di De Appel Art Center - Amsterdam dan RAW Academie 6: CURA pada tahun 2019 di RAW Material Company - Dakar. Gagasan untuk belajar kembali dari sihir, hantu, dan pengetahuan polisentris yang berakar pada konteks lokal sebagai upaya untuk mendekolonisasi sistem pengetahuan, mempromosikan keberlanjutan ekologis, dan menyelidiki lebih lanjut jejak kolonialisme yang tersisa telah menjadi inti dari praktik penelitiannya saat ini. Tulisannya telah diterbitkan dalam buku, publikasi online, katalog pameran, monograf, dan majalah dari Indonesia, Belanda, Italia, Belgia, dan Australia.Dalam praktik kuratorialnya, ia secara khusus tertarik untuk mengerjakan proyek multidisiplin site-specific dalam praktik kehidupan sehari-hari sebagai sarana untuk mengatasi masalah dan mengenal sejarah sosial-politik. Beberapa proyeknya antara lain "Poetry of Space ' (Jakarta & Yogyakarta, 2014); "Fine (Art) Dining" (Lir Space - Yogyakarta, 2016); "Goodluck, See You After The Revolution" (UVA - Amsterdam, 2017 ); "Why is Everybody Being So Nice?" (De Appel Art Centre - Amsterdam, 2017); "Why is Everybody Being So Nice: The Power Nap'' (Stedelijk Museum - Amsterdam, 2017); "Coming Soon" (pameran di Fondazione Sandretto Re Rebaudengo - Turin dan publikasi oleh NERO - Roma, 2018), tujuh seri pameran tunggal "Curated by LIR" yang digelar sepanjang tahun 2018 - 2020 (KKF - Yogyakarta); dan The Transient Museum of a Thousand Conversation (ISCP - New York, 2020). Ia adalah salah satu pendiri LIR Space, ruang seni di Yogyakarta yang berubah menjadi kolektif kurator (LIR) pada 2019. Pada 2017, mereka memprakarsai proyek site-specific dua tahunan bertajuk "900mdpl" di Kaliurang, sebuah desa resor tua di bawah gunung berapi aktif Gunung Merapi untuk melestarikan kenangan kolektif masyarakat. Proyek ini menyatukan seniman lokal dan internasional untuk residensi penelitian dan membuat arsip ruang yang terlibat secara sosial dan edisi ke-3 (2021) yang akan segera hadir.