Sutthirat Supaparinya

Karena Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga

Kelimpahan dalam Hidup Kita = Kelimpahan dari Alam

Pada zaman sebelum kolonialisme, sebelum terbentuknya negara-bangsa yang mau tidak mau diikuti oleh transformasi kapitalistik, kehidupan di Asia Tenggara dilandaskan pada penghormatan terhadap alam sebagai penyedia kebutuhan hidup (rezeki, papan, obat-obatan, dan sandang). Kepercayaan animisme (atau alam itu sendiri) telah lama menjadi fondasi budaya di wilayah ini, berjalan seiring dengan perubahan alam, melawan upaya manusia untuk mengontrol. Masyarakat disiapkan untuk menanggapi perubahan musim dan hubungannya dengan geografi. Pola bumi yang seperti itu memaksa manusia untuk belajar dan beradaptasi, atau sebaliknya berlanjut mencari padang rumput lain yang lebih jinak. Mereka yang menetap lalu mengembangkan perilaku yang kondusif agar daratan yang ditinggali lestari dalam jangka panjang, dengan mengelola tanah dan sumber daya, serta penemuan bahan baru. Dengan demikian, pengawasan akan distribusi sumber daya alam menjadi hal terpenting bagi masyarakat modern yang memiliki kepentingan bersama, baik yang memanfaatkan, mengolah, dan/atau menopang kelimpahannya, sehingga kelimpahan alam dapat dinikmati secara lestari. Sebelum industrialisasi, adaptasi tingkah laku manusia terus-menerus disesuaikan, diwariskan oleh nenek moyang.

Monumen pengingat tsunami Aneyoshi pada Desember 2013. Arsip foto ketika pengerjaan karya “Do Not Build Your Homes Below This Point” di Honshu, Prefektur Iwate, Miyako, area Omoe Aneyoshi, Jepang bagian utara. Desember 2013. Foto oleh Sutthirat Supaparinya.

Dengan munculnya kepentingan kapitalis di seluruh dunia sebagai tujuan akhir, pemahaman tentang cara hidup nenek moyang kita dengan memperhatikan siklus alam telah dilupakan. Pada saat pergolakan alam yang hebat terjadi, mereka yang tetap intim dan hidup dalam simbiosis dengan alam, yang pada akhirnya dapat bertahan hidup, karena mereka dapat mengandalkan pengetahuan yang “terlupakan” untuk menjaga diri mereka tetap terlindungi selama peristiwa besar. Kebakaran hutan Australia pada tahun 2019 misalnya, terjadi karena pemerintah tidak dapat memperbaiki situasi, masyarakat adat angkat bicara tentang bagaimana memperbaiki keadaan 1. Selama tsunami tragis yang melanda Thailand pada tahun 2004, orang Moken (penghuni sebuah pulau kecil di Provinsi Surin) dapat bertahan tanpa cidera karena mereka mengetahui cara membaca laut 2. Pada tahun 2011, penanda batu berukir berusia 100 tahun (lihat gambar 1) yang ditemukan di daerah pesisir Jepang masih menjadi indikator akurat dari jarak aman untuk pembangunan perumahan setelah tsunami dahsyat tahun itu 3 4.

 

Sistem Pengelolaan Air Masyarakat

Pemukiman kota kuno yang berhasil, sering kali mengandalkan pengetahuan geografi dan pengelolaan lahan sebagai faktor penting yang berpengaruh, seperti yang terlihat dalam bukti sejarah seputar pendirian berbagai kota di Thailand Utara. Setelah Raja Mungrai berhasil menaklukkan kerajaan Haripunchai (1281 SM) di bawah pemerintahan Raja Yeeba, dua kota besar didirikan—Wiang Chawae dan Wiang Kum Kam—yang keduanya sering mengalami banjir besar. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa Kerajaan Haripunchai (kerajaan yang sekarang merupakan Provinsi Lamphun, terletak di selatan Chiang Mai), yang berbentuk seperti kerang laut, sebelumnya tidak pernah menghadapi banjir seperti itu. Ketika tiba waktunya untuk mendirikan kota ketiga, Wiang Chiang Mai (1296 SM), pengetahuan kuno dari Haripunchai diadaptasi dan diterapkan, menyelamatkan Chiang Mai dari banjir, sementara juga membangun sistem pengelolaan lahan dan irigasi. Air dari sungai sekitarnya dapat disalurkan secara efisien kepada petani di daerah terpencil untuk digunakan, sementara perluasan kerajaan memungkinkan praktik tersebut menyebar ke setiap sudut wilayah utara antara Sungai Mekong dan Salween hingga hari ini. 5

Raja Mungrai memfasilitasi pengelolaan air yang adil melalui penggunaan sistem irigasi melalui seperangkat undang-undang yang disebut sebagai “Hukum Mungrai” (dikutip di sini untuk menunjukkan pentingnya sistem irigasi yang merupakan pelanggaran modal):

“Bagian 1. Untuk petani dengan lahan yang berdekatan: Jika yang satu meminta bantuan untuk mengairi ladang mereka, sementara yang lain menolak untuk membantu, tetapi malah mengambil air dari yang pertama, yang pertama dapat mengambil nyawa tetangga tanpa konsekuensi; jika tetangga selamat, maka denda 1 juta chip akan dikenakan kepadanya …. Setiap orang yang merusak atau menghalangi saluran irigasi akan dibunuh, karena kejahatan menghancurkan dapur kerajaan.” 6

Undang-undang yang mengatur pembuatan dan penggunaan sistem irigasi ini memfasilitasi peraturan dan mencegah konflik antara penggunaan air biasa, yang dilaksanakan melalui 7 “Perjanjian Saluran dan Tanggul” sakral di antara petani yang tinggal di wilayah sungai yang sama sebagai aturan umum. Seseorang menerima sebagian air tergantung pada kontribusi seseorang atau sukarelawan untuk membangun saluran dan tanggul yang diperlukan (sistem yang oleh penduduk setempat disebut sebagai “Muang-Fai”).

Wang Tan Dike, tanggul batu kuno pada bulan Januari 2012. Arsip foto ketika pengerjaan karya “My Grandpa’s Route Has Been Forever Blocked” 2 kanal video tersinkronisasi, 2012. Foto oleh Sutthirat Supaparinya.

Menjelang akhir 2011/awal 2012 atau selama masa survei terhadap situs berbagai tanggul dan bendungan di Sungai Ping sebagai bagian dari karya saya, My Grandpa’s Route Has Been Forever Blocked 8, Thailand menghadapi banjir besar, yang bahkan telah mencapai ibu kota, Bangkok. Pada saat itu, beberapa kelompok penduduk Chiang Mai berkumpul untuk memprotes rencana pembongkaran tanggul kuno (terbuat dari batu dan bambu) oleh pemerintah, yang mereka yakini sebagai penyebab banjir. Pemerintah kemudian mengusulkan untuk mengganti dengan pintu air di selatan Chiang Mai. Secara kebetulan, mereka juga berencana mengizinkan perahu wisata untuk melakukan perjalanan antara Chiang Mai dan Wiang Kum Kam di Selatan.

Saat itu, saya hanya bisa mengakui beritanya tanpa memahami implikasinya. Namun, tekad saya untuk menangkap rintangan apa pun pada aliran Sungai Ping menjadi mustahil, sadar betapa banyak hal telah berubah sejak zaman kakek saya. Tak perlu dikatakan lagi bahwa penghalang terakhir yang ditampilkan dalam karya My Grandpa’s Route Has Been Forever Blocked adalah hambatan terbesar —bendungan pembangkit listrik tenaga air yang sangat besar. Keyakinan saya menuntun saya dan tim saya bisa menyaksikan kelangsungan hidup tiga tanggul batu terakhir di sungai ini; Tanggul Phaya Kham, Nong Pueng, dan Wang Tan. Namun sekarang, Tanggul Wang Tan telah dihancurkan, digantikan gerbang air modern yang dibangun pemerintah (lihat gambar 2). Perbaikan Tanggul Nong Pueng telah dilarang, hanya Tanggul Phaya Kham yang masih berfungsi seperti yang dimaksudkan—sebuah monumen untuk diamati dan dipelajari oleh generasi mendatang 9. Meskipun ada intervensi pemerintah seperti yang diharapkan, wilayah utara Thailand masih menampung tanggul dan sistem irigasi buatan warga dalam jumlah tertinggi di Thailand.

Air nyaris melebihi tanggul Bhumibol pada Desember 2011. Arsip foto ketika pengerjaan karya “My Grandpa’s Route Has Been Forever Blocked” 2 kanal video tersinkronisasi, 2012. Foto oleh Sutthirat Supaparinya.

Di banyak daerah di Thailand Utara, Departemen Irigasi Kerajaan mengganti tanggul kuno dengan pintu air beton, membangun bendungan untuk tujuan pengelolaan air, pencegahan banjir, dan pembangkit listrik. Berbicara tentang bendungan sebagai mekanisme pencegahan banjir dan irigasi, memang benar bahwa pada zaman orang tua dan kakek nenek saya (penduduk Sungai Ping), banjir merupakan hal yang biasa terjadi. Karena kebutuhan, rumah mereka harus ditinggikan di atas tanah dan diperlukan perahu untuk bepergian. Namun, Bendungan Bhumibol yang dibangun untuk mencegah banjir tidak hanya menyebabkan permukaan air di sungai turun drastis, tetapi juga menyebabkan ketimpangan distribusi air kepada para petani. Sementara beberapa daerah menerima banyak air untuk pertanian, yang lain terpaksa meninggalkan mata pencaharian mereka, atau pindah ke lokasi yang lebih baik. Ketika banjir besar terjadi di Thailand pada akhir tahun 2011/awal tahun 2012, saya mengunjungi Bendungan Bhumibol dan merekam saat ketinggian airnya hingga mencapai puncak (lihat gambar 3). Air pada musim hujan melimpah, menimbulkan kekhawatiran di antara wisatawan dan pengurusnya, yang secara teratur menggunakan jalur air ini. Jika tekanan air seperti itu, maka akan menyebabkan bendungan ini pecah.

Beberapa minggu setelah ekspedisi saya, bendungan tidak dapat menahan air lebih lama lagi, menyebabkan wilayah Tengah yang sudah banjir parah menjadi lebih buruk, yang pada akhirnya menyebabkan banjir di Bangkok. Sungai Nam Tha, yang membelah lingkungan orang tua saya di Lamphun, menenggelamkan desa-desa sekitarnya. Demikian pula, pada Januari 2022, Bendungan Jinghong (di Sungai Lancang di Yunnan, Tiongkok) harus mengurangi pelepasan airnya untuk melakukan perbaikan, mengubah kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan yang sebelumnya dipraktikkan untuk hidup dengan perubahan musiman pada permukaan sungai. 10. Sementara di wilayah selatan Thailand pada tengah musim monsun, PLTA Bang Lang Dam di Provinsi Yala mengeluarkan air untuk melindungi strukturnya, menyebabkan banjir besar di Provinsi Yala dan Pattani 11. Terbukti bahwa ketika pengelolaan air dikendalikan oleh mereka yang tidak benar-benar terkena dampaknya, bencana pun terjadi. Terlepas dari bendungan yang menyebabkan rusaknya ekosistem sungai, pemerintah akan selalu menjaga bendungan-bendungan tersebut dibutuhkan, sehingga nyawa masyarakat tersandera, belum lagi tentang alam yang menjadi korban terakhir.

 

Pembangkit Listrik Berkala Besar, serta Pembuatan, Penyimpanan, dan Sumber-Sumber Daya Daerah Terpencil

Electricity Generating Authority of Thailand (EGAT): Pembangkit Listrik Mae Moh dan Tambang Batu Bara Mae Moh pada Desember 2012. Foto dari “When Need Moves the Earth”, 3 kanal video tersinkronisasi, 2014. Foto oleh Sutthirat Supaparinya.

Ketika penciptaan dan pelestarian sumber daya tidak lagi mencukupi untuk masa depan, lahan baru harus dicari. Pada tahun 2012, saya mendapat kesempatan untuk mewawancarai seorang insinyur yang bertanggung jawab atas pembangkit listrik di Pembangkit Listrik Mae Moh di Provinsi Lampang. Dia memberi tahu saya bahwa tambang lignit (batu bara) di daerah itu akan habis dalam 15 tahun ke depan. Perusahaannya telah memulai proses pembangunan pembangkit listrik baru di tempat lain, yang akan segera beroperasi di Laos. Wawancara dilakukan sebagai bagian dari penelitian yang saya lakukan untuk karya When Need Moves the Earth (2014) (lihat gambar 4 dan 5), yang mengungkapkan pembangkitan listrik di dua pembangkit listrik besar yang dibangun di atas garis patahan geologi aktif, yang berbasis hidro dan batu bara. Awalnya, saya menamai karya tersebut When Greed Moves the Earth? ‘Ketika Keserakahan Memindahkan Bumi’. Jika dipikir-pikir, nama asli ini jauh lebih sesuai dengan apa yang ingin saya sampaikan kepada audiens saya, tetapi pada saat itu saya pikir mungkin agak terlalu blak-blakan. Alasan awalnya saya ingin menggunakan judul itu adalah untuk menekankan efek samping yang diderita oleh alam, sebagai hasil keserakahan manusia. Sebagai konsekuensi dari wawancara saya, dilema ini terlihat jelas karena para insinyur dari kedua pembangkit listrik mengakui bahwa sebagian besar energi yang diciptakan oleh pembangkit ini tidak digunakan di rumah-rumah domestik, melainkan digunakan oleh industri besar seperti pabrik dan pusat perbelanjaan 12. Masyarakat saat ini memproduksi barang dan peralatan sebanyak mungkin. Hal ini, ditambah dengan penimbunan sumber daya dan energi, telah menyebabkan asumsi kontrol yang menghancurkan atas alam, yang kemampuan beradaptasi sebelumnya terhadap perubahan musim dan berbagai pergeseran geografis semakin dinihilkan. Keinginan manusia untuk memelihara infrastruktur yang sangat besar, seperti bendungan pembangkit listrik tenaga air dan listrik, memiliki konsekuensi. Misalnya, banjir di tiga provinsi Selatan pada akhir tahun 2020, untuk menyelamatkan keutuhan struktural bendungan, diberikan pembenaran ekonomi dan sosial, tetapi dengan mengorbankan cara hidup lokal dan kehidupan mereka dengan siklus alam.

Insinyur sedang bekerja di ruang pada Electricity Generating Authority of Thailand (EGAT): Tanggul Srinagarind pada Desember 2012. Foto dari “When Need Moves the Earth”, 3 kanal video tersinkronisasi, 2014. Foto oleh Sutthirat Supaparinya.

Contoh lain dari karya di mana saya terburu-buru merekam kehidupan nelayan, adalah sebelum Bendungan Don Sahong (lihat gambar 6) diselesaikan di Si Phan Don, Sungai Mekong, Provinsi Champasak, wilayah selatan Laos. Karya itu berjudul A Separation of Sand and Islands (2018) [14]. Bendungan ini melarang nelayan setempat untuk memperbaiki “Li” mereka (sejenis perangkap ikan tradisional) karena metode penangkapan ikan ini memungkinkan pengukuran jumlah ikan yang mereka tangkap, sehingga menjadi sarana untuk memastikan kesehatan sungai (lihat gambar 7). Lokasi pembangunan bendungan ini semula merupakan tempat pemijahan ikan antara Sungai Mekong dan Sungai Tonlé Sap di Kamboja—sehingga keberadaan Bendungan Don Sahong berdampak signifikan, menyebabkan penurunan jumlah ikan yang besar. 13 14 Sayangnya, tenaga yang dihasilkan dari bendungan ini tidak signifikan, dan dengan demikian tempat pemijahan yang berharga ini telah hilang tanpa imbalan. Karena kota-kota baru diinginkan, semakin banyak orang Tiongkok yang membawa bisnis ke Laos Selatan dan listrik sangat penting untuk dikembangkan—sebuah fenomena sosial yang ditemukan karena banyaknya bendungan di sepanjang Sungai Mekong dan anak sungainya, seperti Sungai Mun. Orang-orang yang kehidupannya terkena dampak mempertanyakan apakah energi yang dihasilkan dari sungai yang dibendung itu sepadan, ketika kesuburan lingkungan sekitarnya menderita dan tidak dapat dipulihkan?

Tanggul Don Sahong pada 2017. Foto dari “A Separation of Sand and Islands”, 2 kanal video tersinkronisasi, 2018. Foto oleh Sutthirat Supaparinya.

 

Perang untuk Air

Ketika permintaan akan air untuk kehidupan sehari-hari meningkat melebihi kebutuhan, produksi produk yang berlebihan, dan penimbunan sumber daya yang tak ada habisnya oleh mereka yang mampu, serta terus-menerus memperoleh lebih banyak lahan untuk tujuan industri, maka kehancuran yang ditimbulkan hanya akan menjadi lebih cepat dan parah. Benar adanya bahwa tanah yang dibebaskan bukan dimiliki oleh penduduk setempat. Akibatnya, pemilik tanah tidak merasakan efek langsungnya, sehingga tanda peringatan alam tidak lagi menjadi bahasa yang dipupuk. Ke mana kebodohan kolektif ini akan membawa kita pada akhirnya?

Struktur penangkap ikan atau ‘Li’ pada 2017. Foto dari “A Separation of Sand and Islands”, 2 kanal video tersinkronisasi, 2018. Foto oleh Sutthirat Supaparinya.

Banyak badan air dulunya pernah menjadi sumber makanan yang kaya, tetapi invasi dan penghancuran air itu demi kepentingan segelintir orang hanya akan menyebabkan konflik yang lebih dahsyat. Puncaknya terjadi pada perang memperebutkan air. Konflik ini tidak hanya soal memperebutkan air, tetapi akan berujung pada efek domino sosial dan lingkungan. Begitu badan air tidak dapat lagi berperan sebagai sumber rezeki dan tanah subur di sekitar sumber air tersebut menjadi kering dan tandus, maka akan timbul komplikasi di bidang pertanian, yang secara langsung memengaruhi produksi pangan dan obat-obatan. Udara akan membawa lebih sedikit kelembapan, menyebabkan pohon-pohon di sekitarnya layu, serta menyebabkan kebakaran hutan dan polusi. Keadaan ekologi yang tidak seimbang ini akan berdampak luas, dan hanya akan menyebar lebih jauh sampai tidak lagi cukup untuk menyelesaikan satu masalah secara mandiri. Hal ini akan menjadi perang yang dibawa oleh seluruh umat manusia, oleh kesombongan bahwa kita akan selalu menang atas alam, kemenangan yang akan mendorong kita ke tepi menuju kepunahan yang tak terhindarkan.

Apakah tidak mungkin bagi kita untuk bersatu demi melestarikan sumber air kita? Apakah tidak mungkin melibatkan semua pihak, baik itu kaya atau miskin, atau pihak dengan tingkat pengaruh yang berbeda-beda, semuanya untuk tujuan “kebaikan yang lebih besar”? Pelestarian lingkungan serta keberlanjutan rezeki kita, harus memperhatikan ikatan spiritual kuno yang saling menghormati antara mereka yang memerintah dan mereka yang memelihara dan berbagi sistem kehidupan dengan alam.

 

20 January 2021

Bekerja lintas media, praktik artistik Sutthirat Supaparinya (Som) mempertanyakan dan menafsirkan informasi publik dengan fokus pada dampak aktivitas manusia pada manusia lain dan lanskap. Melalui karyanya, ia mempertanyakan dan menafsirkan informasi publik dan mengungkapkan atau mempertanyakan struktur apa yang memengaruhi dirinya / kita sebagai warga negara / global. Sutthirat berupaya menumbuhkan kebebasan berekspresi melalui praktik seninya.