Prilla Tania

Merawat Tubuh Nyi Pohaci Sanghyang Asri

Makan, suatu kegiatan yang sangat rutin dijalani sehingga sering kali diabaikan sebab dan akibatnya. Demikian juga dengan bahan makanan, kemudahannya didapat/ketersediaannya pada masa modern membuat masyarakat terlena hingga tidak lagi mempertanyakan/bertanya, “Mengapa kita makan?”. Karya “EAT!” dalam pameran Beyond Panopticon di BEC (Bandung Electronic Center) pada tahun 2003 mengangkat pertanyaan itu. Seperti hewan lainnya, manusia juga membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan energinya sehingga bisa bertahan hidup, beraktivitas, dan berkembang biak. Perbedaannya, dalam usaha mendapatkan makanan, manusia melahirkan budaya (alat, strategi, dan cara mengolah) yang terus berkembang selama ratusan ribu tahun kehadirannya di bumi. Terbentuklah budaya masyarakat sebagai pemburu dan peramu, petani sederhana, petani modern, industri, dan seterusnya. Semua bentuk masyarakat yang masih ada hingga saat ini. Pada masyarakat modern, cara mendapatkan makanan tidak lagi sesederhana masyarakat tradisional (pemburu/pengumpul/peramu atau petani/peternak), mereka harus mendapatkan uang untuk bisa membeli bahan makanan/makanan siap saji. Dalam perkembangannya, kegiatan makan pada manusia bukan lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan energi hariannya, melainkan juga sebagai kegiatan sosial. Contohnya: setiap acara hajatan pasti dimeriahkan berbagai jenis makanan aneka rupa, warna, dan rasa; atau sekelompok anak kecil yang pergi ke warung kemudian makan camilan bersama sambil bermain.

Apakah yang terjadi bila manusia tidak lagi membutuhkan makanan? “De Chloroman”, sebuah proyek seni yang saya kerjakan, bagian dari program Hier/Heden di Den Haag pada tahun 2012, membayangkan manusia berhijau daun hasil rekayasa yang diciptakan untuk mengatasi persoalan pemenuhan kebutuhan pangan masa depan. Dengan hijau daun, maka manusia tidak membutuhkan lagi makanan untuk pemenuhan energi hariannya. Seperti tanaman, manusia bisa berfotosintesis dengan menyerap air (beserta mineral yang terkandung di dalamnya) dan sinar matahari untuk menghasilkan energi. Dengan hilangnya aktivitas makan dalam keseharian, bentuk aktivitas sosial pun akan berubah. Menjadi bagaimana? Dalam proyek ini saya melakukan eksperimen selama sebulan di musim panas kala itu. Dalam satu bulan itu, saya tidak makan sejak jam 4 pagi sampai sekitar 9 malam. Menghadiri berbagai kegiatan sosial, mulai dari pesta perpisahan pegawai, rapat, bersantai bersama teman-teman, hingga makan malam (jam 6 sore). Semua kegiatan melibatkan makanan/minuman. Pengalaman itu melahirkan sebuah karya berjudul “Ik Eet Niet”, berupa instalasi kertas yang juga diolah menjadi video stop motion, membayangkan De Chloroman dalam sebuah undangan makan malam.

(“Iik Eet Niet” bagian dari program Hier/Heden di Den Haag pada tahun 2012)

Pada masa manusia masih hidup dalam kelompok kecil, kebutuhan dasar dipenuhi dari lingkungan sekitar mereka tinggal. Bisa dikatakan manusia masih menjadi bagian dari rantai makanan dalam suatu ekosistem. Kadang menjadi predator puncak ketika berhasil berburu kijang atau pada lain waktu menjadi santapan harimau atau buaya. Kemudian masyarakat peladang mulai bermukim sementara dan mengolah lahan secara berpindah. Ada perubahan pada permukaan alam/hutan, tetapi tidak terlalu besar sebab ladang yang ditinggalkan akan menjadi hutan (sekunder) sebelum dibuka kembali menjadi ladang dalam siklusnya. Berdasarkan pengalamannya, suatu kelompok masyarakat mulai menghasilkan pengetahuan mengenai cara hidup yang diturunkan dan dikembangkan dari generasi ke generasi. Pada suatu masa sekelompok masyarakat mendirikan pemukiman, kebun-kebun, dan sawah di tengah hutan belantara di dataran tinggi. Dalam masyarakat seperti inilah, mitos Nyi Pohaci Sanghyang Asri berkembang. Dalam mitos ini dikisahkan, untuk menyelamatkan kahyangan para dewa bersepakat membunuh Nyi Pohaci yang kecantikannya membuat ayah angkatnya, Sang Batara Guru jatuh cinta. Kematiannya membuat para dewa merasa bersalah dan takut sehingga tubuh Nyi Pohaci dikuburkan di bumi, jauh dari kayangan. Kesucian dan kebaikannya terpancar ketika dia dikuburkan. Dari tubuhnya tumbuh berbagai tanaman yang sangat berguna bagi manusia. Dari kepalanya tumbuh kelapa; dari hidung, bibir, dan telinganya tumbuh berbagai rempah dan sayur-mayur; dari rambutnya tumbuh rerumputan dan aneka tumbuhan berbunga; dari dadanya tumbuh berbagai pohon buah-buahan; dari lengan dan tangannya tumbuh jati dan berbagai pohon kayu; dari kemaluannya tumbuh aren; dari pahanya tumbuh berbagai jenis bambu; dari kakinya tumbuh aneka umbi-umbian; dan terakhir dari pusarnya tumbuh padi. Dalam versi lain disampaikan bahwa dari mata kanannya tumbuh padi putih dan dari mata kirinya tumbuh padi merah.

Berdasarkan mitos tersebut, mungkinkah nenek moyang kita ingin menyampaikan ilmu menata lingkungan yang ideal bagi suatu kelompok masyarakat melalui komposisi tumbuhan yang tumbuh dari tubuh Nyi Pohaci? Dari kepala hingga kakinya, mungkin juga menjelaskan kepala sebagai dataran yang lebih tinggi dan kaki sebagai dataran rendah. Di mana di sekitar pemukiman terdapat berbagai jenis tumbuhan untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat mulai dari, mulai dari sumber makanan; bahan alat dapur, alat pertanian, dan bangunan; hingga obat-obatan.

(Sketsa dari Nyi Pohaci Sanghyang Asri oleh Prilla Tania)

Semakin “maju” peradaban manusia, sepertinya semakin berjarak pula cara pandang masyarakatnya terhadap alam. Alam menjadi objek/sumber/bahan untuk memenuhi hasratnya dalam upaya membentuk masyarakat yang ideal.  Masyarakat tradisional cenderung melihat dirinya sebagai bagian dari alam, mereka tunduk pada alam. Berburu dan bertanam sesuai musim. Sedangkan masyarakat modern cenderung berupaya menaklukkan alam. Dengan bantuan teknologi, diciptakanlah ruang-ruang tak bermusim, bahkan tak kenal siang dan malam, yang mampu menumbuhkan buah, bunga, dan sayur sepanjang tahun. Skala pertanian semakin besar (raksasa) sementara jenis tanaman yang ditanam/dikembangkan semakin sedikit. Bahkan mengawinkan berbagai jenis makhluk dengan rekayasa genetika hanya untuk kepentingan manusia saja.

Karya “Demokratisasi Karbohidrat” merupakan bagian dari pameran Indonesian Women Artist: Into the Future yang diselenggarakan pada tahun 2019. “Besok pagi makan apa?” Pertanyaan ini diajukan pada pengunjung dan dijawab dengan memasukkan bilah kayu ke dalam karung goni (yang digantung di dinding) yang dibubuhi tulisan nama latin beberapa sumber karbohidrat: Oryza sativa, Ipomoea batatas, Manihot utilisima, sorgum, Canna discolor, dan lain-lain. Di dinding sebaliknya terdapat gambar tumbuh-tumbuhan yang namanya tertulis di karung goni. Digambar dengan kapur pada dinding hitam. Pada hari-hari tertentu, bilah kayu di dalam karung dihitung. Karung yang kosong berarti tidak punya pemilih, maka gambar tumbuhan di dinding belakang akan dihapus dan hari berikutnya, karung yang kosong akan digulung dan tidak lagi bisa dipilih. Begitu seterusnya.

(“Democratization of Carbohydrates”, bagian dari pameran “Indonesian Women Artist: Into The Future” pada tahun 2019. Foto oleh Hendriana Werdhaningsih)

Dari bermacam-macam tumbuhan penghasil karbohidrat yang ada di bumi ini, hanya tiga sampai lima saja yang menjadi sumber makanan pokok penduduk Indonesia/dunia. Mengapa? Beberapa sumber makanan pokok nenek moyang tanah ini seperti uwi, ganyong, suweg, talas, dan sukun merupakan hal yang asing bagi generasi sekarang, bahkan generasi sebelumnya yang hidup dan besar di kota. Padahal tumbuhan tersebut sangat mudah tumbuh dan tidak membutuhkan perawatan yang khusus, tetapi mengapa orang lebih memilih mengkonsumsi nasi dari padi yang membutuhkan kondisi khusus untuk tumbuh atau bahkan gandum atau oat yang jelas-jelas secara iklim tidak bisa ditumbuhkan di negeri ini? Jika orang sudah tidak mengenali lagi sumber-sumber karbohidrat yang beraneka ini dan tidak ada upaya untuk menyelamatkan dan memperkenalkan kembali kepada generasi berikutnya, maka dikhawatirkan kekayaan keragaman hayati ini perlahan-lahan akan lenyap. Ketika diberi pilihan untuk memilih sumber karbohidratnya, apa yang menjadi pertimbangan pemilih? Kesehatan, ekonomis/harga, gaya hidup/gengsi, atau apa?

Jika mengacu pada mitologi tubuh Nyi Pohaci, pada kondisi sekarang di mana hanya padi dan padi lagi yang menjadi perhatian dan dikembangkan sebagai sumber makanan pokok, maka bisa dikatakan saat ini dari tubuh Sang Pohaci hanya membesar pada pusarnya, sementara bagian tubuh lainnya mengecil atau bahkan ada yang nyaris menghilang.

Tahun 2004-2016 merupakan periode ketika saya menjadi pemburu dan pengumpul. Berburu pengalaman dan mengumpulkan gagasan. Melalui karya seni, saya menyampaikan pemikiran dan keprihatinan soal kerusakan alam yang diakibatkan kegiatan manusia. Dalam pameran E di Selasar Sunaryo pada 2013, ditampilkan lima karya yang baik secara gagasan maupun material mengangkat persoalan lingkungan hidup yang diakibatkan upaya manusia memenuhi kebutuhan utamanya (makan). Material utama yang digunakan untuk karya ini adalah kemasan bekas makanan (kardus) yang dipinjam sementara untuk menyampaikan kegelisahan ini sebelum nantinya kembali didaur ulang menjadi kemasan makanan. Jadi, secara tidak langsung karya ini masuk ke dalam rantai (jejaring) makanan kita. Salah satu karya berjudul Daur Energi (Foto 4), menampilkan peta jaring-jaring makanan mulai dari kebun, pengolahan, pengiriman, pasar, hingga sampah yang disisakan yang berakhir di laut.

(Daur Energi. Dokumentasi foto oleh Selasar Sunaryo Art Space)

Dari pengalaman yang terkumpul, saya melihat sulitnya bercocok tanam di negara empat musim, tetapi tidak menyurutkan semangat penghuninya (beberapa yang saya temui) untuk berkebun, sekadar menghasilkan bahan pangan yang terjamin kualitasnya (tanpa pestisida maupun pupuk kimia). Timbul semangat untuk berkebun, sebagai bentuk syukur atas air yang cukup, suhu yang hangat, dan sinar matahari yang bersinar berlimpah. Berkebun ternyata juga menjadi pengurai penat disela-sela perburuan. Bertanam rempah-rempah Eropa (rosemary, oregano, basil, sage, mint) juga stroberi di petak tidak lebih dari 1.5×1.5 meter persegi di salah satu sudut rumah orang tua. Namun, dengan pola hidup yang hampir nomadik, kebun yang lestari tak kunjung terbentuk, setiap kembali dari berminggu bahkan berbulan perburuan, saya akan mendapati kebun ditumbuhi tanaman liar dan tanaman-tanaman yang ditanam dalam keadaan mati.  Maka muncul hasrat untuk suatu saat menetap, bertani dan beternak.  Kala itu, saya menargetkan untuk menetap pada tahun 2014.

Sedikit meleset dari target, tahun 2016 menjadi awal periode menetap. Diawali dengan berkebun, kini saya memasuki tahap bertani (sawah basah) dan beternak (sepasang entok/itik manila). Jika pada periode sebelumnya baru berani menuangkan pemikiran dan kegelisahan, berteriak-teriak lewat karya seni di galeri, maka pada periode ini, pemikiran dijalankan dengan diam-diam dan kegelisahan diurai perlahan-lahan (Foto 5, Leuwigoéng). Meskipun sudah menetap, tetapi dengan pengetahuan dan pengalaman yang terbatas soal bercocok tanam di lahan yang seribu kali lebih luas kebun sebelumnya, kami cukup kerepotan di tahun-tahun awal. Tidak tahu harus mulai dari mana. Namun musim kering pertama mengajari kami, mengingatkan akan pentingnya air. Dengan ukuran kebun seperti ini menyirami kebun dengan selang bukan cara yang bijaksana. Maka kami mulai membuat kolam-kolam tampungan air dan membuat saluran air berupa selokan yang mengular melintasi kebun. Berbekal intuisi, kami mulai mengolah kebun.

Kami menyadari bahwa hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang ideal di lintang bumi tempat kami tinggal.  Kami upayakan agar kebun kami menyerupai hutan. Keberagaman adalah kunci. Berbagai jenis tanaman kami kumpulkan dan tanam untuk menghidupi kebun kami. Beberapa tanaman kami dapatkan dari bertukar dengan sesama pekebun dan lainnya dari orang tua kami yang masih tinggal di desa. Kami “menata” kebun secara tidak beraturan, beberapa tanaman berukuran tinggi (jambu, pepaya, kecombrang, dan pisang) kami sebar di berbagai posisi dengan memperhitungkan bakal bayangan yang akan menutupi sinar matahari. Kemudian beberapa tanaman tersebut sengaja dirambati tanaman lain (markisa, uwi, bunga telang, dan kacang-kacangan). Umbi-umbian yang menjadi salah satu koleksi utama kami juga ditanam di berbagai posisi. Tanaman seperti ubi jalar dan labu sengaja ditanam untuk menutupi permukaan tanah. Beberapa tanaman dari biji, kami tanam dengan cara dilempar/ditebar begitu saja sehingga (sebagian yang bertahan) tumbuh di sela-sela tanaman lainnya. Daripada harus menyiangi tanaman liar, lebih baik kami penuhi saja (tumpang-tindih) kebun dengan tanaman-tanaman yang bisa kami manfaatkan (makan). Awalnya cara ini cukup membuat orang tua bingung, tetapi sekarang mereka mulai menerima cara kami mengelola kebun. Memasuki tahun keempat kebun mulai terbentuk dan hasilnya sudah kami nikmati setiap hari saat makan siang, sebelumnya kami masih lebih terbiasa makan sayuran dari pasar, tetapi sekarang kami membiasakan diri makan dari hasil kebun. Dan ini sudah sangat memungkinkan karena ada berbagai jenis daun, kacang, umbi, dan buah bahkan beberapa jenis tanaman liar yang bisa kami olah setiap hari. Kalau beruntung, pada musim hujan kami bisa menemukan jamur liar (suung bulan/suung tanduk) untuk ditumis atau dipepes. Rutinitas sebelum masak siang biasanya berupa berkeliling kebun mengumpulkan bahan untuk diolah, jadi menu ditentukan saat itu juga.

(Leuwigoeng, Bandung)

Memasuki tahun 2020, kami mulai belajar mengelola sawah. Secara alami kami mulai beraktivitas mengikuti pola tanam sawah, mulai dari merendam benih sampai menjemur padi, yang ternyata memang jauh lebih rumit ketimbang mengurus kebun; tidak heran kalau tumbuhan ini melahirkan berbagai teknologi (terasering, subak) dan mitos seperti Nyi Pohaci (Sunda), Dewi Sri (Jawa dan Bali), serta Inari (Jepang). Pengalaman bersawah ini sangat baru buat kami, cukup kerepotan dibuatnya, karena sepanjang tahun ini sebagian besar waktu kami dihabiskan untuk mengurus padi di sawah. Selain dari ilmu yang disampaikan oleh orang tua, kami juga mengamati setiap tahapan pertumbuhan padi di kedua musim yang sudah kami alami (musim hujan dan musim kering). Saat ini kami tengah mempelajari metode natural farming yang dijalankan Masanobu Fukuoka (1913-2008), dalam mengelola sawah dan kebunnya. Kami merasa metode ini sejalan dengan apa yang ingin kami capai. Untuk bisa menjalankan metode ini, kami harus betul-betul mengenali ekosistem (iklim, tumbuhan dan hewan, serta interaksinya) di lingkungan kami.

Tempat tinggal kami dinamai, Leuwigoéng: “leuwi” berarti lubuk atau cekungan di dasar sungai sementara “goéng” berarti berputar atau pusaran. Seperti namanya, semoga tempat ini bisa menjadi salah satu tempat belajar untuk mencapai dasar pemahaman soal alam. Semakin banyak orang ambil bagian merawat tubuh Nyi Pohaci, maka akan semakin lestari alam yang akan kita tinggalkan nanti.

 

Bandung, Desember 2020

Prilla Tania adalah seniman multidisiplin yang karyanya berupa soft sculpture, instalasi, video dan foto. Karya Prilla dipengaruhi oleh gagasan tentang kedaulatan pangan dan hubungan berkelanjutan antara manusia dan alam. Pameran penting terbaru termasuk 'In To The Future', Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2019); ‘Jogja Biennale XII: Not A Dead End’, Yogyakarta (2013); ‘E’, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2013, solo). Saat ini dia mengelola sebuah taman bernama Leuwigoeng di Bandung dengan fokus pada pertanian organik dan hidup berkelanjutan.