Tempat Perlindungan Rusa Saat Banjir Sungai Batanghari
Borju, begitu panggilannya, merupakan seorang penyair bencana, yang telah membuat topeng selama bertahun-tahun. Bermula ketika kakek dan neneknya menceritakan bagaimana nenek moyang mereka yang menderita kusta diperlakukan layaknya orang buangan oleh penduduk desa. Mereka diasingkan ke dalam hutan yang penuh dengan reruntuhan berhantu, tempat terkutuk yang ditinggalkan selama berabad-abad. Meski begitu, pada malam terakhir bulan Ramadan, penderita kusta yang malang masih nekad mengikuti prosesi takbiran1 dengan memakai topeng dan kain panjang yang menutupi lukanya. Mereka memikul keranjang rotan, tempat umat melempar makanan sebagai tanda iba hati.
Reruntuhan berhantu ini sebenarnya merupakan sisa-sisa universitas biara Buddhis terbesar di Asia Tenggara antara abad ke-7 dan ke-13. Situs yang merupakan “pertemuan pengetahuan” ini, berkembang pesat di persimpangan Jalur Laut Buddha yang mengambil alih Jalur Sutra pada abad ke-7. Para sarjana dan guru agama dari Cina dan India yang ingin belajar ke sini, datang dengan berlayar melalui Selat Malaka dan menyusuri Batanghari (Batang berarti “sungai” dalam bahasa Indonesia, dan Hari adalah nama ke-656 dari Dewa Wisnu), sungai terbesar di Sumatra. Dengan melayari aliran inilah, agama-agama India memasuki nusantara sejak abad-abad pertama Masei, bermula dari tepi sungai hingga hutan primer di lereng Gunung Kerinci. Rute yang bisa juga disebut “Jalur Emas”, karena pedagang dari seluruh Asia bergegas ke sana untuk mencari logam mulia ini. Oleh karena itu, nama “Swarnadwipa”, yang dalam bahasa Sansekerta berarti “Pulau Emas”, mengacu pada apa yang sekarang disebut Pulau Sumatra (ajaran Mahayana dan Tantra dari pulau ini menyebar hingga ke Tibet). Sekitar abad ke-13, universitas besar ini kemudian terlupakan.
Saat ini, tepat di situs ini berdiri Desa Muara Jambi yang semua penduduknya beragama Islam. Rumah mereka terbuat dari kayu dan dibangun di atas panggung di sepanjang Sungai Batanghari. Kebun mereka yang berada di tengah reruntuhan candi, ditanami pohon kakao, duku, dan durian yang membentang lebih dari 3.000 hektar. Beberapa pemuda desa terkadang mengerjakan penggalian bersama para arkeolog. Mereka tahu cara berbicara kepada setiap batu, setiap gundukan tanah merah, setiap pohon di hutan, tempat orang tua mereka, di gubuk-gubuk kecil, mengawasi durian jatuh di malam hari. Bagi kaum muda ini, pengetahuan kuno masih hidup di antara reruntuhan. Pengetahuan yang dirasakan secara mendalam, tertanam secara alami, dan menginspirasi, sehingga mereka mengumpulkan dan membaca banyak buku sejarah. Mereka merupakan penjaga situs sekaligus penjelajah masa lalunya. Legenda, kearifan lokal, dan “mata batin” adalah alat penggalian mereka.
Maka, untuk merayakan kenangan leluhurnya yang kusta, penyair Borju kembali mengangkat tradisi membuat topeng terkoyak dari labu kering. Topeng yang dipakai anak-anak setiap tahun pada malam terakhir bulan puasa, dalam prosesi yang menyenangkan seluruh desa.

Dari kakek Indian-nya, Borju2 mewarisi tubuh langsing nan tipis asketik, serta rambut ala Rastafarian yang memberi aura setinggi keterikatannya. Selama sepekan, di madrasah setempat, ia mengajarkan Pancasila, lima pilar Undang-Undang Indonesia, menekankan keadilan sosial, gotong royong, dan keragaman budaya. Pada hari-hari ketika asap kebakaran hutan begitu pekat sehingga sekolah terpaksa libur, ia menggelar protes puitis terhadap korupsi di luar Istana Gubernur di Kota Jambi. Pada Sabtu malam, dia bernyanyi pada pesta pernikahan dengan band musik pop Melayu miliknya. Dan pada hari Minggu, dia membawa anak-anak ke sekolah terbuka di sepanjang Batanghari. Dia mengajarkan cara menanam pohon sebagai penghalang hijau untuk menghalau debu batu bara yang jatuh di desa dalam hujan lebat dan mencekik. Borju juga ayah dari seorang gadis kecil. Sebagai seorang Islam yang cerdas dia menamainya: Prajnaparamita, Bunda Kebijaksanaan dalam Buddhisme Mahayana.
Pada September 2019, seluruh Provinsi Jambi diserbu asap kebakaran hutan yang sangat besar, seperti yang terjadi di wilayah Sumatra dan Kalimantan lainnya. Sebuah kata baru dalam bahasa Indonesia lahir dari kejahatan lingkungan ini: karhutla, singkatan dari istilah kebakaran hutan dan lahan. Menantang bencana, Borju menghidupkan kembali ritual kuno: Larung Sungai. Di bawah langit oranye yang dikaburkan oleh asap yang mencekik, penduduk Desa Muara Jambi menaiki dua perahu bermotor panjang untuk melemparkan sesajen ke sungai. Semua memakai topeng labu yang dimodifikasi menjadi topeng api. Dan penyair itu menyerukan:
“ Bening Batang Hari tak mampu lagi obati dahaga
Arusnya yang dahulu membawa kisah kejayaan
Sekarang berubah membawah kisah petaka di pulau emas
Prajnaparamita malu mematung
Berlari… di tengah keserakahan manusia
Menangis… mengadu…
Ia terdiam tidak mampu bergerak
Bumi terlampau panas
Raut murung wajah petani di petak sawa yang mengering
Duduk mematung tak ada pohon untuk berteduh
Semuanya tumbang jatuh tersungkur dalam kantong-kantong badut
Berbusana elit
Kini tinggal ranting lapuk mencakar langit
Tinggal mati… menanti saat bumi memaki.”
Ketika saya pertama kali tiba di Muaro Jambi pada November 2010 atas undangan resmi, penduduk desa ini masih dianggap terasing oleh pemerintah provinsi, seolah stigma leluhur mereka yang kusta masih melekat. Gubernur sendiri melarang tamunya berjalan-jalan sendirian di desa. Dia akan memberi mereka pengawalan beberapa orang tentara untuk melindungi mereka dari “populasi perampok dan penjahat ini”. Penduduk Muaro Jambi dituduh mencuri buah-buahan dari pohon di kebun mereka sendiri yang diklaim pihak berwenang sebagai bagian dari situs arkeologi, atau berdemonstrasi melawan perusahaan batu bara. Mereka juga dipandang rendah oleh departemen arkeologi, yang mempekerjakan mereka sebagai tenaga kerja murah untuk penggalian dan dicurigai sebagai pencuri artefak berharga dalam prosesnya. Namun, ketika warga desa menyerahkan temuannya kepada para arkeolog, mereka tidak pernah diberi tanggapan tentang makna historis atau religius dari benda-benda purbakala tersebut. Seolah-olah mereka tidak punya hak untuk tahu, seolah-olah pengetahuan hanya milik akademisi, bukan “orang desa yang tidak berpendidikan”.
Pada November 2010, Pemerintah Provinsi Jambi telah menyelenggarakan seminar tentang Muaro Jambi sebagai calon situs Warisan Dunia UNESCO. Saya pernah diundang untuk berbicara tentang perjalanan guru Buddhis India, Atisha Dipankara Shrijnana, ke Swarnadwipa pada tahun 1012, sebagaimana tercatat dalam sebuah manuskrip Tibet yang konon ditulis oleh Atisha sendiri. Biksu yang sangat terpelajar ini meninggalkan pusat Buddhis bergengsi di Nalanda, India, untuk menyeberangi lautan dan bertemu dengan guru yang paling disayangi dari kehidupan terdahulu yang tak terhitung jumlahnya: Serlingpa, Sang Manusia Pulau Emas. Setelah 13 tahun berada di Sumatra, Atisha kembali ke India, dan kemudian diundang oleh Raja Tibet untuk melakukan apa yang disebut “penyebaran agama Buddha kedua” di Himalaya, dengan membawa serta ajaran berharga dari gurunya dari Pulau Emas.
Selama dua hari seminar, beberapa sarjana mengungkap bagaimana penggalian yang dilakukan sejak tahun 1970-an oleh pemerintah Indonesia telah menggali delapan dari delapan puluh empat “candi”, beberapa patung dan banyak tembikar dan keramik Tiongkok dari abad ke-9; tetapi sangat sedikit prasasti, sehingga para arkeolog masih belum berani berbicara secara terbuka tentang “universitas”. Namun mereka mengakui bahwa kompleks tersebut bukanlah candi melainkan pusat studi, dengan masing-masing dua hingga enam podium, dulunya terlindung dari sinar matahari dan hujan oleh atap genteng yang ditopang oleh pilar kayu. Para siswa biksu akan duduk bersila di sekitar podium di teras batu bata.

Salah satu pidato cemerlang dalam seminar tersebut dibawakan oleh Prof. Dr. Mundardjito, seorang arkeolog senior dari Universitas Indonesia, Jakarta. Dia menegaskan, pembangunan Muaro Jambi yang berlangsung selama beberapa abad tentunya membutuhkan pengetahuan multidisiplin untuk beradaptasi dengan kompleksnya geografi situs tersebut: hutan hujan, rawa, dan sungai dengan banjir monsun. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan apa yang digambarkan Dr. Mundardjito sebagai “Kartu Identitas Indonesia”, pendekatan multidisiplin sudah saatnya diperlukan, di mana arkeolog, sejarawan, ahli prasasti, ahli lingkungan, arsitek, ahli spiritual, dan juga masyarakat desa harus didorong untuk hidup di situs dengan kearifan lokal mereka.
Borju dan teman-temannya dari desa tidak diundang ke seminar sebagai pembicara, tetapi hanya sebagai peserta. Mereka adalah pendengar yang aktif, dan pidato Dr. Mundardjito mengejutkan mereka. Suatu pernyataan yang tiba-tiba membebaskan mereka dari stigma sebagai orang buangan, penjahat, dan petani bodoh, yang telah dicap oleh otoritas dan akademisi setempat pada mereka. Ini jelas memberi mereka tugas dan legitimasi untuk melanjutkan komitmen mereka untuk mengeksplorasi, melestarikan, dan mengembangkan kekayaan tak berwujud dari “rumah mereka” – situs Muaro Jambi. Sejak saat itu, mereka mengatur diri mereka dengan cara yang lebih terstruktur dengan mendirikan Yayasan Padmasana (Padmasana mengacu pada alas berbentuk teratai tempat beberapa patung Buddha berdiri) agar pekerjaan mereka menjadi profesional dan dikenal lebih luas. Dan begitulah cara saya memasuki desa mereka, tanpa pengawalan militer, tidak pernah pergi.
Pada tahun 2012, Situs Arkeologi Muaro Jambi ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai Kawasan Cagar Budaya, yang sebelumnya secara tentatif terdaftar sebagai calon, pada tahun 2009, untuk Warisan Dunia UNESCO. Namun saat ini, Muara Jambi dan masyarakat desanya menghadapi berbagai ancaman dari dampak manusia dan lingkungan. Beberapa di antaranya:
- Batanghari, dulu sungai yang membawa emas dan pikiran yang tercerahkan, kini telah menjadi sungai hitam beracun. Di sepanjang anak sungai di hulu, penambang emas liar menyatukan debu emas menggunakan merkuri dan membuang residunya ke sungai.
- Pompa raksasa yang mengeruk pasir tepat di depan desa, merusuhi ambang sungai, meningkatkan kekeruhan air, dan mengangkat logam berat ke permukaan sambil menghancurkan harta karun kuno yang masih tersembunyi di persemayaman.
- Di seberang sungai, tempat tiga kompleks candi lagi berada, bekas pabrik penggergajian digunakan untuk menimbun batu bara di udara terbuka, setelah eksploitasi hutan yang tidak terkendali. Saat batu bara dimuat ke tongkang raksasa, awan hitam terbentuk di atas Batanghari, menjatuhkan hujan berminyak dan beracun ke desa, menembus mata dan paru-paru.
- Sebagian besar Kawasan Cagar Budaya Nasional ini telah dicaplok oleh perkebunan kelapa sawit muda. Mereka memenuhi rawa-rawa Muara Jambi, tempat tumbuh daun pandan secara tradisional. Daun pandan yang ditenun para perempuan desa menjadi tikar ritual, yang mengiringi setiap tahapan kehidupan.
- Pariwisata lokal massa kini menikmati situs keramat ini sebagai pusat rekreasi. Dan terjadi peningkatan arus masuk peziarah Buddha, kebanyakan orang Tionghoa, dari Malaysia, Taiwan, Singapura, Thailand, Cina dan Indonesia. Mereka datang untuk berdoa di kaki candi, tetapi mengabaikan populasi Muslim yang tinggal di situs tersebut. Mereka pun datang membawa pemandu wisata sendiri, sehingga penduduk desa tidak diuntungkan secara ekonomi dari kunjungan mereka.

Anggota Yayasan Padmasana adalah seluruh penduduk Desa Muara Jambi. Yang termuda, belajar meniru dari yang lebih tua. Tak hanya melayani 3.000 penduduk desa, tetapi juga pengunjung yang lewat. Dari sekian banyak kegiatannya hingga saat ini, berupa pertemuan yang mengajarkan/mendiskusikan/mengatur/menayangkan, di antaranya tentang:
Arkeologi Warga / Arkeologi Re-publik3:
- Mengumpulkan lebih dari 6.000 koin Tiongkok kuno yang berasal dari abad pertama SM, yang sebelumnya terpendam di dasar Sungai Batanghari. Kemudian mengklasifikasikan koin-koin tersebut menurut dinastinya masing-masing.
- Mengawetkan gulungan-gulungan timah kecil yang ditemukan di Sungai Batanghari. Pada gulungan tersebut terukir mantra-mantra dalam bahasa Melayu Kuno, Jawa, dan Sanskerta. Kegiatan yang dipimpin secara informal oleh Arlo Griffiths, mantan Direktur Ecole Française d’Extrème-Orient (FEO) di Jakarta, untuk mengalihbahasakan dan membuat gulungan ini “bicara” lagi; didukung arkeolog Prancis, Pierre-Yves Manguin, salah seorang ahli sejarah Buddhisme terkemuka di Indonesia.
Lingkungan Hidup:
- Pembibitan tanaman obat dan spesies langka.
- Memproduksi tas dari plastik daur ulang, dijual di situs.
- Membuat film dokumenter tentang degradasi situs oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan, untuk menyadarkan publik.
Budaya:
- Membangkitkan seni tari, musik, topeng, dan kerajinan lokal (seperti batik dan tikar).
- Mengumpulkan seloka (bentuk tradisional puisi empat ayat tentang kearifan lokal dan hukum adat), yang meliputi pengetahuan yang dituturkan oleh sesepuh, seperti legenda daerah, tumbuhan obat, dll.
- Kamus “Muaro Jambi-Indonesia” (dalam proses).
- Film dokumenter tentang kesenian yang terancam punah seperti Zikir Bardah (kendang sufi besar yang dimainkan para sesepuh).
- Residensi seniman dengan 9 siswa Singapura dari Lasalle College of the Arts, lokakarya di desa, dan pameran bersama di Singapura (bertajuk, “Crossing the Straits (Menyebrangi Selat)” 2016-2018, diselenggarakan oleh McNally School of Fine Arts); termasuk publikasi oleh Lasalle College tentang kerja sama ini, yang berjudul, “To Leave Home Is Already Half the Journey (Meninggalkan Rumah Sudah Setengah Perjalanan)”.
(Dokumentasi mahasiswa dari Lasalle College of the Arts) - Publikasi buku Dreams from The Golden Island (Babad Alas, 2018) dalam empat bahasa (Indonesia, Mandarin, Inggris, dan Prancis), dirancang dan diilustrasikan oleh seniman muda dari Muara Jambi. Buku ini adalah jembatan antara Buddha masa lalu dan masa kini Islam, menyatukan sutra dalam bahasa Sanskerta, Tibet, Cina, surah dari Alquran, dan puisi kearifan lokal. Publikasi ini juga merupakan “kartu identitas” penduduk desa Muara Jambi, yang memberikan mereka pengakuan oleh pihak berwenang Indonesia dan UNESCO, sebagai penjaga situs dan penjelajah sejarahnya, agar tidak lagi dianggap sebagai “penyusup” yang terancam perampasan.
(Dokumentasi pameran)
Untuk menantang konflik multidimensi yang melingkupi situs arkeologi besar ini, Yayasan Padmasana kini membangun pusat pengetahuan dan pertukaran, dari kemarin dan untuk esok hari, dari Sumatra dan seberangnyaq, membangun proyek-proyek mereka sebelumnya. Ini akan menjadi replika miniatur dari apa yang dulunya adalah “universitas hijau” kuno pertama, di persimpangan antara India dan Cina. Sebuah kampus dengan hutan hujan sebagai kebun buah, perpustakaan, apotek hidup, dan surga meditasi. “Rumah Kearifan Lokal dan Perdamaian Dunia” ini bertujuan untuk mendukung perekonomian desa, mencerdaskan hati, memerangi amnesia sejarah, menularkan budaya damai, dan menghargai alam. Namanya, “Rumah Menapo”. Rumah adalah rumahnya. Menapo, begitulah penduduk desa merujuk pada kompleks candi misterius yang dikelilingi oleh tembok dan kanal, berada dalam reruntuhan sebagai gundukan tanah di antara kebun buah-buahan dan perkebunan kakao. Para arkeolog belum dapat mengungkap misteri “candi” ini, jadi mereka mengadopsi istilah lokal menapo. Napo, dalam bahasa Muaro Jambi, mengacu pada “rusa” dan me adalah “lokasi”. Selama banjir tahunan Sungai Batanghari yang menenggelamkan desa yang terletak lebih dari satu meter di bawah permukaan air, menapo adalah lokasi tinggi tempat hewan liar dari hutan berlindung (seperti di bahtera Nuh).
Di atas fondasi Rumah Menapo, saat ini prosesi topeng kusta dikembangkan sebagai tarian penyembuhan, yang ditampilkan oleh para remaja putri desa: “Topeng Labu, The Pumpkin Masks”.