April 2014 sudah dekat berakhir. Jakarta yang genting hadir dalam sebuah surat pembaca dengan tanggapannya dan dua berita koran.
Kompas, koran terbesar di Indonesia, memuat surat pembaca itu pada 28 April 2014. “Pemakaman di Pekarangan” begitu titelnya. Puji Lestari, penulisnya merupakan warga Kembangan, daerah di bagian barat ibu kota Jakarta. Puji bertetangga dengan satu keluarga Betawi, warga asli Jakarta yang masih memegang erat praktik memakamkan jenazah keluarga sesuai tradisi budaya yang sudah banyak ditinggalkan. Si tetangga menempati rumah di atas tanah warisan turun-temurun yang di sekitarnya terdapat beberapa makam. Dalam suratnya, Puji meminta pemerintah kota menertibkan pemakaman yang dianggap tidak pada tempatnya itu.
Hari itu juga surat pembaca Puji ditanggapi Iman Firdaus1, seorang pekerja di Jakarta kelahiran Bandung. Nadanya hampir sama. Hanya lebih pedas dan mengejek. Memakamkan keluarga di halaman rumah baginya tradisi yang konyol, seperti tercermin dari pengalamannya ketika kuliah di Universitas Bina Nusantara dan indekos di Kemanggisan, Jakarta Barat, kawasan hunian orang Betawi. Ini bukan pengalaman pertama Firdaus, dia pernah mendapati hal yang sama ketika tinggal di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Berlatar pengalaman inilah Firdaus menyatakan, “Pemerintah daerah memang harus menertibkan melarang pemakaman di pekarangan.”

Masih pada hari yang sama dan di Kembangan, tersiar berita perusakan serta pembakaran pos ormas Pemuda Pancasila (PP) oleh Forum Betawi Rempug (FBR). 2 PP adalah ormas yang tumbuh dari kudeta berdarah terhadap Presiden Sukarno akhir September 1965. Ormas ini membesar seiring jatuhnya Presiden Sukarno dan menguatnya kekuasaan Presiden Soeharto. Sementara FBR tumbuh pada masa jatuhnya Presiden Soeharto dan meluruhnya kekuatan pemerintah pusat yang berimplikasi pada ketegangan sosial politik dengan ciri dominan politik jalanan Jakarta. FBR di satu sisi mengeklaim bahwa mereka menyuarakan keluhan kelompok-kelompok sosial ekonomi yang secara historis terpinggirkan di Jakarta, yaitu kelompok-kelompok yang mencari payung organisasi untuk mengatasi kondisi keterampasan material, kemiskinan, dan ketersisihan. Alih-alih mengambil basis sentimen nasionalistis, mereka merespon semangat desentralisasi dengan sentimen etnis. FBR mampu dengan baik memakai persepsi tentang keberakarannya di perkampungan Jakarta. Termasuk klaimnya mewakili orang Betawi miskin dalam bersepakat dan atau merebut kembali kendali atas ruang kota yang sesungguhnya tanah titipan leluhur.3
Kurang dari satu minggu sebelumnya, 22 April 2014, Jakarta—seperti juga berbagai kota besar di segenap penjuru dunia mulai San Francisco, Beijing, Brussel, Moskow, Marrakesh—ikut merayakan Hari Bumi. Orang-orang Jakarta pun sebagaimana orang-orang di kota-kota besar itu menanam pohon atau melakukan beragam aktivitas peduli lingkungan lainnya. Masih mengikuti tahun-tahun sebelumnya, Hari Bumi 2014 itu tetap menggelisahkan, besarnya tingkat urbanisasi dan mendesaknya membangun lingkungan perkotaan ekologis karena perkembangan wilayahnya yang kacau serta semena-mena terhadap daerah hijau. Sebuah video perayaan yang beredar global ditutup dengan ajakan: “Join us. It’s time to green our cities”.
Berita perayaan Hari Bumi dan kekerasan antar organisasi masyarakat kelas bawah itu dengan jelas menggambarkan kegentingan Jakarta, yaitu ibu kota ini bukan saja tengah mengalami krisis daya dukung lingkungan, melainkan juga persoalan kerentanan kemanusiaan berupa konflik sosial yang akut karena kesenjangan sosial. Namun, bagaimana dengan surat pembaca pemakaman di pekarangan? Bagaimana pula kaitannya dengan masalah kegentingan ini?
Asal-Usul Kegentingan
Pakar kebudayaan kota, Melani Budianta, menyebut asal-usul bencana ekologis dan krisis sosial Jakarta dapat dicari pada rasa malu para pejabat atas sebutan Jakarta sebagai a big village.4 Ejekan ini telah muncul pada masa Sukarno sebagai produk politik perang dingin. Suatu stigmatisasi atas upaya eksperimen arsitektural ruang politik Sukarno mengubah Jakarta dari ibu kota kolonial Batavia menjadi ibu kota Republik Indonesia sekaligus poros kekuatan politik The New Emerging Forces (NEFO), yaitu kelompok negara-negara yang baru mengalami dekolonisasi. Sukarno sendiri tampaknya termakan oleh stigmatisasi ini.
Ketika mengangkat Ali Sadikin menjadi gubernur pada 28 April 1966, Sukarno menyebutkan, “Jakarta harus mempunyai physical face yang waardig”. Suatu bentuk lain dari kata-kata “wajah modern internasional” yang sering diungkapkan dalam pidato-pidatonya. Pernyataan agar ibu kota memiliki wajah yang berwibawa itu kemudian diterjemahkan Ali Sadikin sebagai tugas memimpin perubahan Jakarta yang diejek the big village atau kampung besar jadi metropolitan kelas dunia. Misi ini menemukan momentumnya dengan pengangkatan Ali Sadikin yang dilaksanakan di tengah transisi politik yang cepat dan dramatis, tetapi memungkinkan kembalinya modal global yang sebelumnya digebah Sukarno untuk “go to hell”. Modal global itu bersama tentara yang mulai berkuasa, mengkonstruksi ulang semua orientasi bernegara termasuk berkota.
Efek bom minyak dengan banjiran investasi semakin menegaskan bahwa kota bukan lagi ruang mobilisasi massa seperti zaman Sukarno, melainkan mobilisasi modal. Sampai di sini, paradigma pertumbuhan dengan model pembangunan yang instan dan berorientasi pada infrastruktur pun dielu-elukan. Pertumbuhan ekonomi juga diiringi pertumbuhan populasi. Antara 1966 dan 1976 penduduk Jakarta bertambah 3,6 juta orang menjadi lebih dari 5,7 juta orang. Dalam bayang semangat pertumbuhan dan pertambahan penduduk—yang lebih cepat sampai 4,5 persen setiap tahun ketimbang perluasan wilayah Jakarta—inilah Ali Sadikin bekerja. Dari Gambir—kawasan pusat kota sekaligus pusat eksperimen politik arsitektural ruang kota Sukarno yang tinggal reruntuhan impian megah dan kerangka-kerangka terpancak yang belum selesai menjulang di atas daerah kumuh serta sampah yang membusuk—Ali Sadikin menyusun sejumlah rencana, aturan untuk basis bertindak dalam menata sebuah kampung besar menjadi kota internasional. Jalan menuju ke sana dimulai Ali Sadikin dari pemakaman.
Pada 1966, keadaan tempat-tempat pemakaman umum di Jakarta sangat buruk. Centang perenang di ruang kota. Jakarta memang terhindar dari peristiwa-peristiwa mengerikan berupa penjagalan massal setelah kudeta G30S 1965 seperti di kota-kota lain. sebab tentara berhasil mengarahkan gerakan antikomunis melampiaskannya pada perusakan dan pengambilalihan properti. Namun, orang mati tetap merupakan urusan serius di Jakarta. Pemerintah kota harus mengantisipasi jumlah jenazah perhari di kota itu yang mencapai 160 atau 60.000 per tahun. Sebuah upaya mengatur dan memfasilitasi, serta menggerakan perubahan pemakaman telah disusun dalam Rencana Induk Jakarta 1965-1985. Dari sini berlakulah serangkaian aturan yang menentukan batas-batas pemanfaatan dan penggunaan tanah serta wilayah untuk pemakaman.

Sampai dengan 1975, Ali Sadikin telah mengosongkan dan memindahkan kerangka 41.530 jenazah dari 26 lokasi tempat pemakaman umum maupun keluarga seluas 167,813 hektar. Untuk memudahkan masyarakat yang ingin memindahkan kerangka jenazah keluarga mereka disediakan 18 mobil angkutan jenazah.5 Semua jenazah harus dimakamkan kembali di tempat pemakaman baru yang telah ditetapkan pemerintah dan masing-masing seluas 30 hektar, seperti di Tanah Kusir, Jeruk Purut, Tegal Alur, Pasar Minggu, Cipinang Besar, Menteng Dalam, Tanjung Barat, Menteng Pulo, dan Grogol Petamburan. Sesuai aturan itu maka tanah-tanah pemakaman umum maupun keluarga mulai ditertibkan dan dikosongkan.
Bersamaan dengan tindakan Ali Sadikin itu, berjalanlah pendekatan gentrifikasi untuk mengubah yang kumuh menjadi elite. Tak bisa dipungkiri, Ali Sadikin memang telah melansir Proyek Perbaikan Kampung M.H. Thamrin. Namun, dalam sebuah evaluasi besarnya sejarawan kota Susan Blackburn dalam Jakarta: A History, melihat proyek ini “tampaknya seperti pemerintah kota masa kolonial Belanda, pemerintah Jakarta pun memilih langkah yang paling mudah dengan membantu penduduk miskin, agar tidak mengganggu konsentrasi membangun bagian-bagian kota yang terlihat lebih pantas sebagai ibu kota internasional modern”.6 Dana yang dialokasikan pun sangat kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran lain untuk Jakarta. Ini memang bukan ciri khas pemerintah kota masa Ali Sadikin, tetapi ciri umum pemerintah Orde Baru yang Jakartasentris dan melulu melihat ruang adalah uang. Sebab itu dengan cepat kota merangsek kampung-kampung Betawi dan mentransformasinya menjadi sebuah kawasan permukiman baru yang modern sekaligus ruang konsumsi yang nyaman. Sekejap kampung-kampung dikepung berbagai infrastruktur. Fasilitas-fasilitas penanda perkotaan bermunculan: jalan beraspal, bioskop, pasar swalayan, bank, restoran, hingga sekolah swasta.
Sebuah ungkapan yang menjadi sohor di Jakarta saat itu, “masup mubil”—sebagai penanda suatu lokasi bukan lagi di kampung yang identik dengan jalan sempit dan becek—menggambarkan bahwa warga Betawi melihat gentrifikasi bukan hal negatif, melainkan sebuah fenomena pembaruan kualitas fisik perkampungan. Citra positif itu semakin menguat dengan bertambahnya ungkapan sejenis “masup mubil” itu, seperti “ade bioskop”, “deket supermarket”. Semua ungkapan itu kemudian juga menjadi tanda-tanda konsumerisme di antara orang-orang Betawi. Penetrasi konsumerisme kian dalam dengan munculnya ungkapan lain yang menandai hasrat mengikuti gaya hidup kaum berada dan biasa disebut “orang gedongan”, seperti “merabot” serta “majang”. Ungkapan “merabot” ini berarti belanja banyak perlengkapan rumah bermerek mahal. Sedangkan “majang” adalah aktivitas memamerkan barang-barang berharga.
Warga kampung Betawi memang menjadi lebih mudah mengakses kemodernan, tetapi pada saat yang sama karena harga tanah yang naik akibat gentrifikasi memunculkan banyak tawaran untuk menjual tanah. Di sinilah orang kampung Betawi mendapat angin memenuhi dorongan konsumerisme karena disajikan sumber mewujudkannya. Gentrifikasi pun memberi kesempatan mereka memenuhi hasrat religiusitas yang dipupuk sejak masa kecil. Ketika hendak ditidurkan, setiap ibu di kampung Betawi dengan kasih sayang bersenandung kepada anak-anaknya, “Ya Allah ya Rabbi, minta rezeki biar lebi, biar bisa pergi haji, ziarah ke kuburan Nabi.” Seolah-olah sang anak diingatkan oleh orang tuanya agar kelak mereka bisa menunaikan rukun Islam kelima. Alwi Shahab, kronikus Jakarta, menuturkan betapa pada 1970-an banyak warga Betawi menunaikan ibadah haji dengan cara terlebih dulu menjual tanah atau terkena gusuran untuk proyek. Tak heran, saat itu muncul ungkapan “haji gusuran”. 7
Dalam restrukturisasi ruang kota itu, orang-orang Betawi kehilangan siasat menahan godaan uang. Namun, cobalah percaya, tidak semua tanah mereka berpindah tangan dengan mendapat ganti rugi. Yang berjalan di sini adalah kuasa eksklusi atau penyingkiran. Eksklusi ini dimulai dengan pemberlakuan serangkaian aturan yang menentukan batas-batas tanah dan memengaruhi bagaimana tanah diakses, serta digunakan oleh siapa. Pelaku paling penting dalam kuasa pengaturan adalah pemerintah melalui proses pemberian sertifikat, alokasi, formalisasi, serta konservasi lahan.
Contohnya adalah penetapan master plan Jakarta 1965-1985 dengan rinciannya yang tidak dapat diakses untuk menghindari spekulan tanah, justru sangat memukul orang-orang Betawi, dan akhirnya jatuh juga tanahnya kepada para spekulan. Adakala orang Betawi sukarela menyerahkan tanahnya karena hormat kepada wibawa pemerintah yang ingin membangun jalan melintas daerahnya, tetapi yang diambil tidak bisa dibedakan untuk kepentingan umum atau lebih dari luas lebar panjang jalan. Akhirnya mayoritas mereka memang dipaksa pergi dari tanahnya. Dekade 1970-an memang tercatat sebagai era penuh persengketaan tanah. Bahkan pembebasan lahan layaknya operasi militer, seperti yang terjadi di Kampung Rawa sari pada 1972, Bendungan Hilir dan Pondok Indah pada 1975.
Penyingkiran orang Betawi juga dilakukan dengan pembentukan pasar yang berbentuk harga tanah. Ketika permintaan ruang untuk pembangunan dan sekaligus urbanisasi, maka saat inilah proses pengalihan tanah terjadi. Sering ini berakibat pada konflik keluarga dalam konteks satu sama lain saling klaim dan akhirnya melempar seluruh keluarga yang hidup bahkan yang sudah meninggal dan dikubur di pekarangan digusur. Kekerabatan di sini terbukti rapuh, tidak seperti dibayangkan, susah senang bersama atau berbagai kemiskinan atau solidaritas sekampung. Harapan akan kehidupan yang lebih baik jauh lebih menggoda.
Sejak itu orang-orang Betawi mengalami keterpinggiran dan ketimpangan ekonomi. Keadaan yang semakin buruk sebab selama seperempat abad kemudian, pembangunan kota diserahkan pada pengembang dan spekulan finansial yang diyakini akan membawa kota semakin tumbuh berkembang sebagaimana layaknya kota-kota megapolitan dunia lainnya. Nasib mereka justru semakin buruk ketika booming pasar properti pada 1973, terus menaik sampai tahun 1987 dan 2000. Tanah di Jakarta memang semakin lama semakin memiliki nilai yang tinggi, tetapi justru semakin banyak penduduk yang digusur untuk memaksimalkan penggunaan tanah. Orang Betawi di Jakarta tumbuh menjadi komunitas masyarakat asli yang terpinggirkan di kampungnya sendiri. Sebuah satir diungkapkan oleh Abdul Chaer, seorang ahli budaya Betawi, menggambarkan nasib tragis tersebut: “jika orang Betawi berkumpul tersenyum sumringah serta tertawa lebar, itu artinya mereka tengah mengenang masa lalu, tetapi jika muka mereka berubah menjadi masam dan sedih, maka tak salah lagi mereka sedang bicarakan nasib hari ini”. 8
Orang Betawi ikut serta dalam iming-iming derap kemajuan yang dijanjikan oleh narasi modernisasi, tetapi hanya mendapati kekalahan demi kekalahan bersaing sampai tertendang keluar arena. Demikian konsekuensi masyarakat asli yang terikat erat dengan tanah, tetapi ternyata tidak lagi sanggup memenuhi kebutuhannya dan disadari atau tidak dipaksa melepaskannya. Terbukalah di sini tentang arti tanah bagi orang Betawi dengan pemanfaatannya yang berubah. Semua ini dapat terjadi karena makam-makam di pekarangan sebagai benteng pengaman yang menjaga orang Betawi terikat dengan tanahnya, telah dijebol lebih dulu.
Arti Makam-Makam
Apakah arti makam-makam di pekarangan bagi orang Betawi, sehingga dapat menjadi benteng penyelamat dari peminggiran yang biasanya dilakukan melalui proses perampasan lahan yang dimiliki atau ditempati mereka? Posisi seperti apa yang membuat makam-makam di pekarangan dapat menyetop ancaman yang dinamakan dengan “akumulasi melalui penjarahan (accumulation by dispossession)”?
“Orang mati bukan kedebongan pisang,” ungkapan tua ini dapat menjadi pintu memasuki arti tanah menurut adat orang Betawi. Mereka percaya roh keluarga yang meninggal tidak pernah pergi dari lingkungan keluarga tempat dia pernah hidup. Hal yang sama maknanya, ketika orang Betawi menanam ari-ari di pekarangan rumah. Ari-ari yang merupakan plasenta penyalur makanan pada janin tatkala di rahim, menurut adat Betawi, adalah kembaran atau saudara bayi.
Sampai di situ, makam-makam di pekarangan pun menjadi manifestasi arti tanah yang mempunyai kedudukan penting dalam hukum adat Betawi. Bukan saja karena satu-satunya kekayaan, melainkan juga tempat tinggal keluarga dan masyarakat yang memberi penghidupan, serta tempat di mana para sanak keluarga yang meninggal dunia dikuburkan. Mereka ini, sesuai dengan kepercayaan, tetap tinggal di sekitar rumah bersama para roh leluhur. Dari dalam pandangan yang bersifat religio-magis inilah, bersumber hukum adat Betawi yang mengamanatkan relasi antara masyarakat dan tanah yang didiami seumpama gigi dengan gusi, erat sekali.

Pandangan religio-magis tersebut merupakan manifestasi dari teks kitab suci Islam, tentang taman sebagai ruang adi kodrati leluhur yang dipindahkan ke dalam ruang nyata. Pemahaman ini ditanamkan kuat sejak masa kanak seorang Betawi: “Kencing jangan sembarangan, puhunan ade penunggunye.” Tentu saja ini ungkapan gaibiyah Betawi, tetapi cobalah percaya bahwa menurut adat, pohon adalah ruang leluhur dan sekitarnya bukan ruang tertutup yang steril dari aktivitas. Setiap anggota keluarga yang meninggal diamanatkan oleh adat dimakamkan di pekarangan. Makam-makan ini pun wajib ditandai di sekitarnya dengan menanam tujuh pohon produktif penghasil buah-buahan. Lingkungan pepohonan diyakini memberi jaminan ketenangan, sebab secara batiniah seseorang senantiasa mendapat perlindungan leluhur yang berada tak pernah jauh dari rumah. Selain tentu saja, jaminan ekonomi dari aneka buah-buahan yang sepanjang tahun akan berbuah. Lebih luas lagi ini menjadi sumber lahirnya sistem kebudayaan Betawi. Mulai dari konsep waktu yang mengikuti saat-saat pohon berbuah, seperti “musim durian”, “musim manggis”, “musim mangga”, dan seterusnya sampai dengan produk seni, seperti topeng tanah sebagai salah satu induk teater tradisi Betawi.
Makam-makam di pekarangan dengan pepohonan di sekitarnya itu pun dapat dibaca sebagai ruang identitas historis sekaligus ekologis masyarakat Betawi. Sebab membuat dengan mudah siapa pun terkoneksi langsung dengan masa lampau Jakarta. Masa lampau yang memberi kekhasan budaya orang Betawi, yang berpandangan bahwa alam menguasai manusia serta manusia integral dengan alam. Hal ini tercermin dalam nama-nama tempat di Jakarta yang mayoritas identik dengan pohon, seperti kampung Gandaria, Johar, Menteng, Duku, Serdang, Bungur, Bintaro, Kedoya, dan lain-lain. Saking kuat identifikasi dengan pepohonan itu membuat begitu banyak toponimi di Jakarta dimulai dengan kata kebun, seperti Kebun Pala, Kebun Jeruk, Kebun Sirih, dll. Bahkan hutan, seperti Utan Kayu, Utan Pitik, Utan Panjang, dan seterusnya.
Identitas historis dan ekologis tersebut tentu berkorelasi dengan aspek ekonomi. Bahkan aspek religio-magis atas makam di pekarangan menguatkan keduanya karena memercayai bahwa selama pohon-pohon itu dirawat dengan baik, bukan saja akan mendoa bagi si jenazah dan mengikatkan dengan masa lalu ruang hidup yang identik dengan pohon, melainkan juga membawa berkah rezeki bagi yang ditinggalkan dan para tetangga, serta seluruh kampung. Kesaksian antropolog Lea Jelinek yang pada 1970-an melakukan riset di daerah Kebon Kacang, Jakarta Pusat, telah menggambarkan ini. “Ibu Cia orang Betawi asli, rumahnya yang berlantai tanah dikelilingi oleh kebun sayur, pohon buah-buahan, dan ada kolam ikan, kandang ayam, juga kambing,” ungkap Jelinek.9 Ditambahkannya bahwa sebagian hasil kebun itu dikonsumsi sendiri dan dibagi dengan para tetangga, lainnya dibungkus lantas dijual ke Pasar Tanah Abang atau dijajakan keliling kampung.
Hal itu menjelaskan bahwa selain urusan ekonomi, ada kebersamaan dan berbagi empati. Tentu saja kampung pun punya penjamin sirkulasi sekaligus pemberi kualitas udara yang baik. Lebih jauh, kampung menyediakan perlindungan atas kegentingan yang disebabkan hilangnya keseimbangan ekologis akibat akumulasi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup di Jakarta, seperti penurunan permukaan tanah, polusi udara, krisis air bersih, serta ruang terbuka hijau. Inilah yang membuat dari segi arsitektural Betawi, makam-makam di pekarangan yang sejatinya adalah kebun aneka pohon, termasuk tumbuhan obat-obatan yang mendominasi halaman rumah, justru lebih berharga dari rumah. Sebab makam-makam di pekarangan itu mengandung nilai kultural, spiritual, ekologis, sekaligus ekonomis.
Dengan latar belakang itulah, maka mengingat kisah makam-makam di pekarangan sesungguhnya seperti mengingat pada salah satu warisan masa lalu yang dapat menjadi ruang tumbuhnya gagasan commons perkotaan. Makam-makam di pekarangan itu menjadi simbol kekuatan untuk menghimpun dan mengorganisasi sumber daya dalam satu komunitas kampung sehingga muncul gerakan communing. Inilah penunjang daya hidup bagi Jakarta yang kerap diulang-ulang oleh para ahli pengamatnya, suatu kota yang menyedihkan karena kekurangan ruang bersama dan krisis empati. Ketika segala jenis ruang dinilai terutama sebagai aset keuangan, tekanan pada commons ini mencoba membuka ruang agar dapat dimanfaatkan dalam rentang guna dan oleh pelaku yang lebih beragam, serta penuh empati. Sampai di sini, makam-makam di pekarangan dapat mengambil peranan dalam upaya reclaiming perkotaan dari kontrol kapital yang melulu melihat ruang adalah uang.
Makam-makam di pekarangan itu pun menjadi semacam mnemonic code atau perintah dasar yang sederhana untuk menguatkan daya ingat, sehingga memungkinkan mereka harus mempertahankan serentang kenangan yang disambung dengan tindakan agar kampung dan penghuninya terus dekat dengan alam. Kedekatan ini terpatri ke dalam setiap kampung dan berpusat pada makam di pekarangan, sehingga siapa pun dan dari mana pun asalnya yang menjadi bagian komunitas kampung dapat menemukan cara untuk hidup bersama serta membayangkan cara-cara mengada kini juga yang akan datang dengan saling merasakan empati, sekaligus bagaimana bertindak dalam kebersamaan.
Siasat Bertolak
Dalam sebuah roman percintaan yang teramat sohor dari abad ke-19, Nyai Dasima yang ditulis oleh sastrawan indo G. Francis, diceritakan bahwa Dasima terus dalam kepungan malapetaka ketika meninggalkan rumah gedong dan kembali ke kampung. Dasima bahkan akhirnya mati dengan tragis digorok oleh jagoan kampung dan mayatnya dibuang ke Sungai Ciliwung. Roman ini menempatkan kampung sebagai sumber semua hal buruk. Seperti lukisan-lukisan mooi indie, kampung adalah gambar semak-semak gelap yang di dalamnya bersembunyi kekuatan jahat. Pemaknaan negatif ini sesungguhnya merupakan pandangan resmi kolonial terhadap ruang orang-orang non kulit putih di tanah jajahan. Inilah yang menyebabkan kampung sulit didefinisikan, selain juga karena bukan wilayah administratif dan merupakan pemukiman informal tak terencana yang tersebar di tengah atau di pinggiran perkotaan10.
“Tidak direken”, demikian jika meminjam istilah Betawi untuk menggambarkan nasib kampung. Dulu Jakarta jor-joran mengubah citranya dari “the big village” menjadi metropolitan internasional modern. Ternyata, transformasi yang dibanggakan ini tidak memecahkan masalah keberlanjutan dan ketahanan sosial-budaya. Kota perlu berpaling kepada kampung, melihat bahwa sesungguhnya kota bergantung kepada kampungnya sebagai suatu sistem penunjang kehidupan sehari-harinya. Kampung adalah rumah bagi para babu, jongos, supir sado bahkan gundik pada masa kolonial, dan tak banyak berubah sampai kini hanya istilahnya berganti menjadi lebih mentereng asisten rumah tangga, bahkan dalam bahasa inggris, seperti cleaning service, office boy, dan lain-lain. Kampung adalah sumber penyedia pekerja dan sistem penunjang kota, tempat jajan makan murah di sekitar wilayah perkantoran multinasional korporasi yang jangkung-jangkung mencakar langit Jakarta.
Lebih jauh lagi dan penting, ihwal mempertahankan eksistensi kampung sama artinya dengan menjaga pemasok nilai penawar penyakit kota, terutama kerakusan akan uang dan ruang. Jakarta kini termasuk dalam deretan metropolitan yang tengah mengalami krisis lingkungan dan kesenjangan ekonomi yang diikuti konflik sosial. Namun, ironisnya sedikit sekali memperlihatkan kegentingan yang memaksa untuk mencari jalan pemulihan agar mampu menyintas. Ini tergambar nyata dalam daftar enam proyek strategis nasional mega infrastruktur di Jakarta dan sekitarnya yang dimulai pada 2013 dengan dana Rp442 triliun. Proyek enam ruas tol dalam kota dan Proyek Mass Rapid Transit (MRT) sampai ke kawasan terjauh pinggiran Jakarta, akan menghadirkan kembali gentrifikasi yang selalu diikuti munculnya konflik sosial dan bencana ekologis.
Proyek mega infrastruktur yang dijalankan pemerintah tersebut bersama surat pembaca Puji dan tanggapan dari Firdaus sebagai warga kota kebanyakan adalah gambaran bahwa pentingnya upaya menemukan sistem pengetahuan lokal (local knowledge system) yang berakar pada kearifan lokal (local wisdom) dan pranata ilmiah (scientific institution) sebagai penunjangnya belum menjadi arus utama. Meskipun minor, bukan berarti di dalam wacana mega infrastruktur, wacana lain tidak dapat tumbuh. Setidaknya sejak tahun 2010-an, mulai berdengung lalu terbentuk gerakan kebangkitan kampung. Muncul kebangkitan gairah untuk menggali kembali sumber daya pengetahuan lokal tradisi leluhur, seraya memanfaatkan rekayasa mutakhir. Bertujuan untuk menguji gagasan-gagasan lokal yang hidup di kampung-kampung sebagai tradisi itu sebagai siasat dan modal negosiasi alternatif agar Jakarta dan lebih luas lagi Indonesia, bisa keluar dari maut.
Bukan tidak mungkin, siasat dan modal negosiasi itu harus dimulai dengan mendengar, serta merenungi kisah dari makam-makam terakhir di pekarangan orang Betawi. Baik dari yang masih tersisa di kampung-kampung dalam kota, maupun yang jauh di pinggiran Jakarta, tetapi masih selamat dari tatanan modal global dalam bentuk megacity. Atau makam-makam di pekarangan yang dilanjutkan kembali sebagai tradisi di ruang baru, yang juga berada di pinggiran-pinggiran Jakarta dan dibangun oleh anak-cucu dari generasi korban eksklusi pada masa Ali Sadikin, karena tak ingin sekali kalah lalu mati.
Mungkin mereka tak tahu apa arti semua tindakan tersebut—hanya menjalankan tradisi. Namun, dalam tataran global, ketika sebagian besar dunia sudah sepenuhnya merengkuh kapitalisme global, makam-makam di pekarangan itu menjadi salah satu aspek kehidupan khas kampung di Jakarta. Meskipun terancam punah, tetapi jelas makam-makam di pekarangan merupakan sebuah berita sandi bagi perencana kota dan ahli tata ruang, serta pakar lainnya untuk menemukan arah yang tepat dalam menata kota. Sesuatu yang bisa jadi bukan sekadar harus bertolak arah dari jalan tikus dan gang-gang di kampung, seperti kata Melani Budianta. Namun, juga dari makam-makam di pekarangan rumah di kampung, untuk belajar mereguk semangat kampung dan menjadikannya roh kota.