Wut Chalanant

Bendungan Ini Milik Negara Tetangga: Sebuah Catatan Penelitian

Pada waktu itu sekitar tahun 1997 saat perjalanan keluarga ke Vientiane, menjadi kali pertama saya melihat Sungai Mekong dengan mata kepala saya sendiri. Kami melintasi Jembatan Persahabatan Thailand–Laos, jembatan yang baru saja dibangun dan sudah dibuka beberapa tahun lalu, menghubungkan Nong Khai dengan Vientiane. Saya terkesima dengan besarnya ukuran sungai pada akhir musim penghujan itu, tanpa mengetahui bahwa di samping jembatan perbatasan yang baru saja dibangun, ada satu bendungan lain telah dibuka. Bendungan Manwan merupakan bendungan pertama dalam sistem sungai yang selesai dibangun pada tahun 1995.

Kebanyakan orang tidak tahu bahwa Sungai Mekong dan Lancang adalah sungai yang sama. Lancang adalah nama bentangan utara Sungai Mekong di Yunnan, Tiongkok. Sungai ini memiliki panjang 4.300 kilometer, lebih dari setengahnya mengalir melalui Tiongkok sebelum memasuki Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Sumbernya berasal dari Pegunungan Qinghai, Dataran Tinggi Tibet. Ketika dampak lingkungan dari Bendungan Manwan di Sungai Mekong terasa, kedua nama yang berbeda tersebut menimbulkan kebingungan bagi banyak orang Tionghoa, tentang mengapa negara-negara hilir begitu kritis terhadap cara Tiongkok memperlakukan Sungai Mekong.

Terlepas dari dampak lingkungan yang ditimbulkan, Tiongkok tak henti-hentinya membangun bendungan pembangkit listrik tenaga air di Sungai Lancang dan anak-anak sungainya. Terlepas dari efek ekologis, bendungan pembangkit listrik tenaga air ini merupakan kontributor utama dalam perjuangan negara mencapai target pengurangan emisi karbon. Pada tahun 2020, ada 11 bendungan di aliran utama sungai yang beroperasi. Pengembang bendungan tersebut menargetkan kapasitas terpasang dari seluruh pembangkit listrik di wilayah tersebut mencapai 63 gigawatt dengan waduk lebih dari 130 miliarmeter kubik pada tahun 2030.

Pada tahun 2012 terjadi protes besar di Bangkok, menentang pembangunan Bendungan Xayaburi di Lao Utara, karena proyek tersebut diberikan kepada perusahaan konstruksi besar Thailand. Para pengunjuk rasa menuntut agar Bendungan Xayaburi—pembangkit listrik tenaga air pertama di hilir Sungai Mekong—dihentikan. Saya menduga bahwa kemajuan konstruksi ini disebabkan oleh investasi sebesar US$4 miliar, yang diajukan oleh CH-Karnchang, salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Thailand (menarik untuk dicatat bahwa PDB Laos pada tahun 2012 adalah US$7 miliar). Investasi ini berada di bawah Rencana Ekonomi Pemerintah Laos 2005 berjudul “The Battery of Southeast Asia”, membayangkan sembilan bendungan di sepanjang sistem sungai negaranya. Tanpa kemampuan finansial, Pemerintah Laos memberikan keleluasaan izin pengelolaan situs-situs ini kepada investor asing.

The River Mark, tiang beton yang dibangun oleh Prancis untuk mengarungi sungai pada masa kolonial.

Meskipun Xayaburi adalah bendungan pertama di hilir Sungai Mekong, upaya untuk mengendalikan sungai dapat dilihat kembali pada tahun 1865, ketika penjelajah Prancis menelusuri jalur air ini untuk membangun rute perdagangan antara Indochina dan Yunnan (namun ngarai sempit dan air terjun yang bergemuruh terlalu sulit untuk dilalui). Sampai hari ini tiang beton masih berdiri di tengah sungai (lihat gambar 1), yang berfungsi sebagai tanda navigasi selama penjajahan Prancis (1893-1953). Pada tahun 1950-an, AS mengusulkan rencana membendung Sungai Mekong untuk pembangkit listrik tenaga air, demimempercepat pertumbuhan ekonomi melawan pengaruh komunis yang semakin meningkat. Rencana tersebut dibatalkan karena ketidakstabilan iklim politik saat itu.

Pemandangan pegunungan di utara Lembah Yubeng, tempat asal Sungai Mekong.

Pada Desember 2015, perjalanan saya ke sumber Sungai Mekong dimulai setelah saya mendarat di Kunming. Perjalanan darat sepanjang 800 kilometer itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama, dari Kunming ke Lijiang, kota besar terakhir sebelum Tibet. Diikuti dengan naik bus tujuh jam melalui jalan raya pegunungan baru. Di sini saya mengamati Jalan Raya Puchong lama yang telah diganti dengan jalan tol Xiangli yang modern. Jalan raya tersebut memotong langsung pegunungan melalui terowongan dan jembatan, untuk menghindari jalan pegunungan yang berkelok. Kota Dêqên merupakan tempat yang tepat untuk mengamati Pegunungan Salju Meili, tempat asal Sungai Lancang/Mekong.

Selama istirahat singkat dari studi pada tahun 2018, saya memutuskan untuk berpergian ke Xayaburi. Saat itu adalah waktu yang menarik, karena pembangunan Bendungan Xayaburi akan selesai dalam waktu kurang dari setahun. Penyelesaian bendungan menandai tonggak penting bagi pengembangan hilir Sungai Mekong. Karena saya paling tertarik dengan transformasi lanskapnya, saya memulai proyek ini dengan mencari hubungan antara lanskap, bendungan, dan masyarakat di sungai ini.

Bepergian melalui jalur darat memungkinkan saya untuk terhubung dengan konteks pedesaan Laos dan arah pembangunan di daerah tersebut. Rute 4 yang bergelombang dari titik penyeberangan internasional Phu Doo Thailand menuju Xayaburi, membutuhkan waktu hampir lima jam untuk menempuh jarak 200 kilometernya. Di sepanjang sisi jalan terdapat menara jaringan listrik tegangan tinggi, siap mengekspor 95 persen listrik yang dihasilkan dari Bendungan Xayaburi kembali ke Thailand. Jelas ada persiapan untuk pembangkit listrik tenaga air yang akan datang ini.

Di Xayaburi, sebuah gunung kecil menghalangi kota dari bendungan. Bendungan Xayaburi dapat dicapai lewat jalan memutar sejauh 30 kilometer ke utara. Struktur utama bendungan terlihat jelas di lereng bukit yang sejajar dengan sungai arus utama, setelah deretan kamp dan bengkel untuk para pekerjanya. Pembangunan dibagi menjadi dua tahap dengan tahap pertama terdiri dari pintu air dan lift perahu yang sudah selesai dibangun. Bagian kedua terdiri dari struktur, tempat pembangkit listrik dan tangga ikan, telah selesai lebih dari 80 persen dan proses pembongkaran cofferdam baru saja dimulai.

Tangga ikan di bendungan Xayaburi. Strukturnya dirancang untuk memungkinkan migrasi ikan melalui bendungan dan mengurangi efeknya pada ekosistem dan perikanan. Sebagian besar struktur ini akan berada di bawah air ketika cofferdam menahan aliran selama konstruksi dilepas.

Penambangan pada konstruksi bendungan menghasilkan batuan berkualitas baik, yang memungkinkan pembangun untuk membuat salah satu beton berkualitas terbaik di Asia Tenggara. Kecuali batu dari tambang di lokasi, sebagian besar bahan konstruksi diimpor dari Thailand. Saya melewati beberapa konvoi pembuat bendungan di jalan menuju Xayaburi, masing-masing terdiri dari 8 sampai 12 truk beroda delapan belas. Saya mengumpulkan batu dari tambang dan mengambil sampel balok beton dari bendungan, sebagai dokumentasi pergerakan dan transformasi material dari gunung ke struktur bendungan monumental di Sungai Mekong.

Pada tahun 2019 bendungan ini beroperasi dengan waduknya yang terisi air. Sisi bukit, tempat kamp tempat para pekerja dulu berada, kosong, karena sebagian besar gudang lembaran logam hijau telah dihancurkan selama tahun-tahun sebelumnya. Di puncak gedungnya, lebih dari 10.000 orang tinggal dan bekerja di sini. Dibandingkan dengan populasi Xayaburi yang berjumlah 16.000, lokasi konstruksi ini berfungsi sebagai kota kecil sendiri. Hal ini mengingatkan saya pada wawancara yang saya lakukan pada tahun 2018 dengan manajer proyek CK Karnchang, yang mengatakan, “Ketika proyek dimulai, semua pohon telah didokumentasikan sebelum ditebang, untuk menanami kembali lanskap pada akhir proyek.” Mungkin taktik semacam itu tidak hanya membersihkan jejak konstruksi, tetapi juga menghapus kisah ribuan pekerja yang pernah ada di sana.

Lahan kosong di lereng bukit tempat kamp pekerja yang telah dibersihkan. Pengembang bendungan sedang mempersiapkan proses reboisasi.

Pada tahun 2018 saya bertemu Boonsri, seorang pria ramah berusia pertengahan 40-an di desa pemukiman kembali di tepi Nam Khan, salah satu anak sungai utama Sungai Mekong. Desa ini merupakan salah satu dari banyak desa pemukiman kembali yang dibangun untuk penduduk desa yang rumahnya terendam air waduk. Dia bisa dibilang beruntung, karena dia beradaptasi dengan kehidupan baru dengan cukup baik, kemudian bekerja sebagai penjaga desa. Dia dan keluarganya dulu tinggal di hulu, bercocok tanam padi untuk mata pencaharian. Di desa pemukiman kembali ini, mereka menerima rumah setengah kayu setengah beton, setelah pindah ke sini tiga tahun lalu. Semua rumah di desa hampir identik. Boonsri bercerita, “Surveyor dari pemerintah datang ke desa kami dan mendokumentasikan kondisi rumah kami. Mereka memberikan rumah baru kepada kami sesuai dengan rumah kami sebelumnya. Sehingga pemerintah dapat menghemat anggaran karena mereka dapat menurunkan beberapa elemen pada rumah paling dasar. Itulah alasan mengapa beberapa rumah panggung ini tidak memiliki lantai dasar. Istrinya menjalankan toko desa kecil, berlawanan dengan mata pencaharian lama mereka di mana makanan dapat diperoleh dari sungai. Terlepas dari adanya sekolah, listrik, dan infrastruktur yang jauh lebih baik, penduduk desa masih tertinggal tanpa akses ke wilayah perikanan dan sawah yang memadai. Banyak yang tidak seberuntung itu dan harus melakukan perjalanan kembali ke ladang lama mereka untuk menanam padi guna memberi makan keluarga mereka. Pada akhir percakapan panjang kami, saya membuat potret keluarga untuknya dan beberapa temannya. Saya diterima dengan hangat ketika saya membawakan mereka cetakannya pada kunjungan selanjutnya.

Keluarga Boonsri sedang melihat foto keluarga mereka dan membagikannya di sekitar meja. Dan rumah panggung paling dasar di desa pemukiman kembali.
Beberapa rumah baru di Xayaburi di mana elemen arsitektur asing dapat terlihat. Akibat ledakan ekonomi, banyak orang Laotien yang mampu mengumpulkan dan memamerkan kekayaan mereka.

Meski kota Xayaburi tampak sepi, gedung-gedung baru bermunculan di mana-mana. Orang-orang memamerkan kekayaan baru mereka, terbukti dari rumah-rumah berwarna cerah berhiaskan tiang-tiang Romawi, jauh dari rumah panggung kayu tradisional mereka. Rumah-rumah “kaya” ini mengingatkan saya pada bangunan yang saya lihat, selama perjalanan saya ke Yunnan, yang desanya memiliki pendekatan serupa. Lonjakan ekonomi lokal yang secara tiba-tiba membuat orang dengan cepat mengambil pengaruh asing, sebagai status sosial. Seorang pejabat pemerintah yang baru saja pindah ke rumah barunya mengatakan kepada saya, “Ekonomi sedang berkembang pesat dan saya senang karenanya.”

Menariknya, di Xayaburi, tiga area perumahan—kamp pekerja, area pemukiman kembali, dan kota Xayaburi—mencerminkan bagaimana pembangunan bendungan ini sangat mempengaruhi masyarakat dengan berbagai cara. Dari sisa-sisa kamp pekerja sementara yang tidak lagi berfungsi apa pun, hingga rumah warna-warni di kota Xayaburi, penduduk di Cekungan Mekong terus mengalami ketidakpastian ekonomi akibat kesehatan ekosistem sungai yang tidak stabil. Sayangnya, desa-desa yang menjalani pemukiman kembali, yang mata pencahariannya dipertaruhkan, menjadi lebih rentan secara sosial dan ekonomi.

Saya di sini bukan untuk mendefinisikan baik atau buruknya dari bendungan ini. Saya tahu Asia Tenggara haus akan lebih banyak listrik, perubahan tidak bisa dihindari, tetapi dialog antara lanskap, bendungan, dan komunitas yang terkena dampaknya pun perlu ditingkatkan. Sebagai seorang seniman, saya ingin menyampaikan kesadaran tentang isu lintas batas Cekungan Mekong. Kita perlu menyadari bahwa demi pembangunan bendungan yang melayani gaya hidup kita ini, dibutuhkan mobilisasi besar-besaran dari modal, tenaga kerja, hingga sumber daya, yang datang dengan konsekuensi yang signifikan, baik yang diinginkan maupun yang tidak.

Pendekatan artistik Wut Chalanant melibatkan penelitian ke dalam aktivitas berbasis sejarah, politik dan ekonomi dan eksplorasi fisik ruang-ruang ini di tepi pengalaman normal, dan ia mengerjakan tema tentang hubungan antara manusia dan ruang di zaman modern. Ia juga tertarik dengan ideologi perkembangan kota dan bagaimana hal itu mengubah ruang. Transformasi tanah, melalui tuntutan pergeseran ekonomi global, menciptakan kekosongan konteks dan membuka ruang untuk interpretasi baru. Untuk mencari pernyataan jejak kita, dia menangkap elemen realitas, yang kemudian direkonstruksi.