Maryanto
Nek Wani Ojo Wedi-Wedi, Nek Wedi Ojo Wani-Wani (Kalau berani jangan tanggung-tanggung, kalau takut jangan bertingkah seolah berani), 2021
Instalasi Tenda dengan Suara
200 x 400 cm
Keberadaan Gunung Merapi tidak hanya dilihat sebagai fenomena geologi tetapi juga diyakini memiliki kehidupan sebagai kerajaani. Kepercayaan akan keberadaan makhluk yang menjaga alam Gunung Merapi sebagai kumpulan cerita yang sering diwariskan dengan diceritakan kepada generasi penerus sebagai wujud transmisi pengetahuan tentang tata cara, tingkah laku, dan pembacaan tanda-tanda alam di sekitar Gunung Merapi. Judul Nek Wani Ojo Wedi-Wedi, Nek Wedi Ojo Wani-Wani (Kalau berani jangan tanggung-tanggung, kalau takut jangan bertingkah seolah berani) mengacu pada ungkapan Jawa untuk selalu mengukur kekuatan dan tekad seseorang dalam mengambil keputusan.
Ojo Adigang Adigung Adiguna (Jangan Sombong, Keras Kepala, atau Memiliki Keinginan untuk Selalu Menaklukkan), 2021
Charcoal di atas Kanvas
200 x 350 cm
Pemandangan sungai yang menjadi aliran material vulkanik Gunung Merapi dengan berbagai peralatan manusia dan aktivitas penambangan pasir besar-besaran pasca letusan besar tahun 2010. Jalur truk menjadi bagian dari lanskap yang membentang di sepanjang sungai, dan menjadi perwujudan dari arogansi manusia yang ingin menjajah dan menaklukkan alam. Sebutan Ojo Adigang Adigung Adiguna mengacu pada sebuah pengingat agar manusia tidak bertindak sombong, keras kepala, tidak pula memiliki keinginan untuk selalu menaklukkan.
Sapa Seneng Ngrusak Ketentremane Alam lan Liyan Bakal Dibendhu deneng Pangeran lan Dielehke dening Tumindhake Dhewe #1 (Bagi Mereka yang Mengganggu Alam dan Makhluk Supernatural akan Dihukum oleh Tuhan, dan Mendapatkan Karma untuk Tindakan Mereka Sendiri #1), 2021
Charcoal di atas Kanvas
200 x 150 cm
Judul karya ini mengacu pada pepatah penjaga: “Bagi yang mengganggu alam dan makhluk gaib akan dihukum oleh Tuhan, dan mendapatkan karma atas perbuatannya sendiri”. Sebuah pesan yang dipegang oleh Penjaga Gunung Merapi sebagai wujud keseimbangan antara keberadaan manusia, alam, dan penjaga alam dimana keberadaan pertambangan bermanifestasi sebagai terganggunya keseimbangan alam.
Sapa Seneng Ngrusak Ketentremane Alam lan Liyan Bakal Dibendhu deneng Pangeran lan Dielehke dening Tumindhake Dhewe #2 (Bagi Mereka yang Mengganggu Alam dan Makhluk Supernatural akan Dihukum oleh Tuhan, dan Mendapatkan Karma untuk Tindakan Mereka Sendiri #2), 2021
Charcoal di atas Kanvas
200 x 250 cm
Judul karya ini mengacu pada pepatah penjaga: “Bagi yang mengganggu alam dan makhluk gaib akan dihukum oleh Tuhan, dan mendapatkan karma atas perbuatannya sendiri”. Sebuah pesan yang dipegang oleh Penjaga Gunung Merapi sebagai wujud keseimbangan antara keberadaan manusia, alam, dan penjaga alam dimana keberadaan pertambangan bermanifestasi sebagai terganggunya keseimbangan alam.
Sing Bahurekso Gunung Merapi (Penguasa Gunung Merapi), 2021
Charcoal di atas Kanvas
200 x 200 cm
Letusan Gunung Merapi tahun 2010 menjadi penanda penting dalam aktivitas vulkaniknya. Selain menjadi letusan Gunung Merapi terbesar dalam satu dekade: letusan ini juga meluncur ke dua arah, yaitu Barat dan Tenggara. Aliran lahar dingin berupa material vulkanik membanjiri ke arah Barat, serta menghancurkan beberapa rumah dan jembatan di aliran Kali Putih. Sedangkan aliran lahar panas melanda 13 desa di sisi tenggara Gunung Merapi dan menewaskan ratusan jiwa termasuk juru kunci yang telah mengabdi selama puluhan tahun. Judul karya Sing Bahurekso Gunung Merapi mengacu pada ungkapan penduduk setempat setiap kali terjadi letusan gunung: penguasa Gunung Merapi adalah “mengadakan upacara”.
Siti Panguripan (Tanah Penghidupan), 2021
Charcoal di atas Kanvas
200 x 150 cm
Letusan Gunung Merapi diyakini akan menjadi berkah bagi warga sekitar berupa material vulkanik yang bisa menjadi sumber mata pencaharian. Sementara itu, aktivitas penambangan pasir yang masif, ekstraktif, dan eksploitatif yang terjadi di sepanjang sungai mengancam lereng sungai yang berdekatan dengan sumber air dan ladang. Sebutan Siti Panguripan mengacu pada budaya agraris yang meyakini bahwa tanah adalah sumber mata pencaharian. Di sisi lain, Maryanto meyakini material vulkanik berupa pasir juga merupakan jenis ‘tanah’ yang menjadi sumber kehidupan.
Urip Iku soko Sopo? (Siapa yang Memberi Hidup?), 2021
Instalasi Tenda dengan Suara
200 x 300 cm
Penambangan pasir menjadi salah satu penyebab rusaknya alam di sepanjang sungai di lereng Gunung Merapi. Kegiatan penambangan besar-besaran dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap mekanisme alam dalam mempersiapkan kebutuhan manusia yang berkelanjutan. Sebagai bentuk perlawanan terhadap bentuk-bentuk penambangan yang eksploitatif, alam kerap memberikan peringatan agar penambangan ini bisa dihentikan. Peringatan tersebut bisa berupa luapan lumpur yang menenggelamkan truk, atau bahkan kerap merenggut nyawa para penambang. Judul Urip Iku Soko Sopo? (Siapa yang memberi hidup?) mengacu pada kesadaran akan kehadiran kekuatan yang lebih besar di luar diri sendiri dan Dia yang menciptakan kehidupan.