The Hunters: Kisah Para Pemburu
Dahulu kala, ada dua pemburu perkasa: Barata, yang hidup di bawah gunung berapi komposit aktif tempat gajah dengan bebas berkeliaran di pulau Jawa1, Indonesia; dan Ta Jung Kung Dang Daeng (ตาจึ่งขึ่งดังแดง), yang berkeliaran di sekitar tempat yang kini dikenal dengan nama Thailand dan Laos, di sepanjang Sungai Mekong2, tempat Naga3 tertidur nyenyak di dasar sungai.
Kisah Barata berasal dari masa sebelum kerajaan diberi nama dan kota-kota terbagi, saat ada lebih banyak gajah daripada manusia di Pulau Jawa. Ketika manusia mencoba membangun peradaban di pulau itu, mereka mulai memburu gajah, menyatakan perang, dan mendorong mereka menuju kepunahan. Dari semua pemburu, ada satu yang terkuat dan dihormati oleh banyak orang. Namanya Barata4. Dia tidak memiliki rasa takut dan mampu membunuh lebih banyak gajah daripada siapa pun yang pernah ada. Dia dikenal oleh banyak orang, menikahi wanita tercantik, dan menetap di sebuah desa di kaki gunung berapi. Orang-orang di seluruh pulau terus memburu gajah, sementara desa dibangun dan keluarga bertambah besar. Suatu hari, seekor gajah muda yang lincah secara tidak sengaja menginjak, dan membunuh putri tunggal Barata. Patah hati dan kehilangan teramat sangat, dia menyadari bahwa hanya dengan menyelamatkan nyawa gajah lah, dia akan mendapatkan kedamaian pikirannya lagi. Oleh karena itu, dia berpindah ke sisi tertinggi dari gunung berapi tempat gajah yang terluka datang untuk mati, untuk menyembuhkan mereka. Suatu hari, hanya ada seekor gajah terluka yang masih hidup. Barata memberi tahu gajah itu bahwa satu-satunya cara untuk membuatnya tetap aman adalah dengan mengucapkan mantra untuk mengubahnya menjadi pohon, karena para pemburu tidak akan berhenti sampai gajah terakhir jatuh dan mati. Bertahun-tahun gajah itu hidup sebagai pohon beringin putih dan Barata hidup di dalamnya. Namun, peradaban berhasil menyusul.
Tanah itu sekarang dipenuhi peradaban manusia, dengan kebutuhan akan lahan yang lebih banyak, hingga ke sisi tertinggi dari gunung berapi. Sebuah jalan harus dibangun dan pohon beringin putih menghalangi. Perintah agar pohon tersebut ditebang pun dikeluarkan. Saat itu, tidak ada lagi pemburu, melainkan orang membawa gergaji yang datang untuk menebang pohon tersebut. Namun Barata, yang tinggal di dalam pohon, sangat kuat. Dalam setiap upaya penebangan, nyawa satu orang hilang. “Pohon itu suci, biarkan saja,” kata seseorang dengan mata batin, yang bisa melihat gajah dan Barata di dalam pohon beringin putih. Sayangnya, sama seperti para pemburu sebelumnya, orang-orang dengan kapak tidak mendengarkan, mereka pikir tidak ada yang terlalu sakral dibandingkan dengan usaha menafkahi keluarga mereka. Maka, mereka terus berusaha menebang pohon itu. Barata lalu menyadari inilah saatnya membebaskan sang gajah. Jadi, dia mengucapkan mantra lain dan bersama-sama, dia dan gajah berjalan sampai ke titik tertinggi gunung berapi, di luar jangkauan manusia. Pada suatu hari, sang gajah tidak dapat melanjutkan perjalanannya, sehingga Barata mengucapkan mantra lagi untuk mengubah gajah menjadi batu untuk selamanya. Saat ini, ketika malam begitu hening, terkadang Anda dapat mendengar suara gajah memanggil dari kejauhan dan samar-samar terlihat penampakan Barata yang menjelajahi puncak gunung berapi. Kisah Barata Si Pemburu Gajah memang merupakan cerita fiktif, tetapi batu gajah yang mirip dengan gambar dalam buku fiksi tersebut dapat ditemukan di desa Kaliadem, dikelilingi oleh ratusan jip wisata lava dan wisatawan.
Di belahan dunia lain yang tidak terlalu jauh, pernah ada pemburu hebat lain bernama Ta Jung Kung Dang Daeng. Pemburu ini bertubuh besar sehingga konon anak-anak terlihat berlarian di hidungnya. Suatu hari, pemburu tersebut memutuskan untuk berburu kerbau perak. Menemukan mangsanya di sepanjang sungai Mekong, pemburu tersebut menguntit kerbau ke lubang berair. Saat dia bersiap untuk melepaskan busur pembunuh dari panahnya, seorang pedagang muncul, mendayung perahunya ke hilir, sehingga membuat kerbau takut dan pergi. Pemburu yang murka akibat mangsa yang berhasil lolos, melakukan balas dendam kepada pedagang tersebut. Dengan kekuatan dan perawakannya yang besar, pemburu tersebut menghalangi aliran sungai menggunakan banyak batu besar, yang menghentikan pedagang mana pun agar tidak pernah melewati sungai itu lagi.
Akan tetapi, tanpa sepengetahuan sang pemburu, menghentikan aliran sungai juga berarti membuat penduduk desa setempat yang mengandalkan sungai untuk mencari ikan, terhenti aktivitasnya. Penduduk desa, yang ingin kembali ke cara hidup mereka yang semula berdoa kepada para dewa untuk meminta bantuan. Setelah mendengar permohonan mereka, salah seorang dewa setempat menyamar sebagai biksu keliling dan mendekati pemburu. Melihat bagaimana pemburu membawa batu-batunya dengan tangan, satu per satu, biksu tersebut menyarankannya agar menggunakan batang bambu untuk membawa banyak batu sekaligus. Nasib buruk menghampiri pemburu, ketajaman batang bambu memotong tenggorokannya, menyebabkan dia meronta-ronta kesakitan dan sekarat. Dalam penderitaannya, pemburu jatuh ke sungai dan mati.
Cerita rakyat Ta Jung Kung Dang Daeng ini merupakan cerita di balik nama yang diberikan untuk daerah tersebut saat ini—Kaeng Khut Khu—yang dapat diterjemahkan menjadi “Pulau Kecil Buaian”. Terletak di distrik Chiang Khan, Provinsi Loei, Thailand Utara (dekat perbatasan dengan Laos), belakangan pulau ini menjadi daya tarik wisata yang menonjol di mana hubungan simbiosis antara penduduk setempat dan cara hidup sungai mereka terus berkembang. Meninjau kembali legenda pemburu ini dan kerbau perak, mengingatkan kita pada para “pemburu” modern saat ini, yang bermanifestasi sebagai bangunan besar buatan manusia. Hanya dua ratus kilometer dari kawasan Kaeng Khut Khu, bagian bawah Sungai Mekong kini tertahan oleh Bendungan Xayaburi untuk keperluan produksi pembangkit listrik tenaga air. Namun, tidak seperti cerita rakyat, bukan hanya perjalanan perahu yang terganggu dan para nelayan yang tidak bisa mencari nafkah; melainkan juga terganggunya aliran alami sungai yang menyebabkan naik dan turunnya permukaan air di luar musimnya. Hal ini pada akhirnya berdampak pada hancurnya ekosistem lokal, yang menyebabkan punahnya banyak spesies ikan, serta cara hidup pertanian lokal. Bahkan lebih buruk dari tindakan pemburu, pembangunan ini memiliki konsekuensi yang luas bagi masyarakat lokal dan juga alam itu sendiri.
Jejak Para Pemburu
Kami, para kurator, mengikuti rasa penasaran kami pada kisah pemburu seperti dalam cerita tersebut dengan menyusuri hutan dan sepanjang sungai. Bersama kedua seniman, Maryanto dan Ruangsak Anuwatwimon, kami mengacu pada masing-masing sosok Barata dan Ta Jung Kung Dang Daeng, untuk memberikan gambaran atas berbagai sosok “pemburu” masa kini—dari perusahaan air, industri pariwisata, industri pertambangan pasir ilegal, industrialisasi, bendungan pembangkit listrik tenaga air, dan megaproyek pemerintah.
Di Indonesia, LIR dan Maryanto menyusuri Gunung Merapi, sebuah stratovolcano aktif di Yogyakarta5, menyusuri hutan dan sumber air keramatnya, di tengah-tengah industri penambangan pasir, yang diselingi berbagai lokasi wisata di pusatnya. Hubungan antara dunia manusia dan nonmanusia, dari yang telihat hingga yang tak kasat mata, dan yang mistis hingga dunia “nyata” hadir di Yogyakarta, karena kedekatannya dengan Gunung Merapi. Gunung Merapi dianggap sebagai salah satu dari dua kerajaan mitos terkuat di Yogyakarta, yang terhubung melalui poros imajiner dengan Kesultanan Yogyakarta dan Kerajaan Mitos Ratu Laut Selatan—sebuah perjanjian kuno untuk saling mendukung. Di sekitar Gunung Merapi, pengetahuan ontologis kosmologi Jawa dulu hidup berdampingan dengan nilai-nilai Islam, tradisi yang berakar pada pengetahuan Hindu dan animisme. Masyarakat setempat percaya bahwa mereka berbagi ruang hidup tidak hanya dengan hewan dan tumbuhan, tetapi juga dengan roh leluhur, dewa, dan makhluk gaib serta pelindung alam. Hidup berdampingan, penting untuk saling menghormati dan melindungi untuk menjaga keseimbangan dan timbal balik. Setiap letusan gunung berapi, gempa bumi, bencana alam, dan pandemi menunjukkan keseimbangan baru sedang ditingkatkan, dan melalui cerita yang diturunkan antargenerasi, ada bukti bahwa dunia telah melawan dan manusia terus berusaha memegang kendali.
Pada suatu hari, kami melakukan perjalanan di kaki Gunung Merapi, kami menyusuri hutan yang terkena aliran piroklastik sepuluh tahun sebelumnya, yang merupakan salah satu letusan terbesarnya. Di sini, kami menemukan bagaimana batang pohon terbakar, bagaimana sebuah pohon tumbang tetapi akarnya kuat dan terus tumbuh—beberapa tumbuh secara horizontal sebelum menuju ke atas untuk menemukan lebih banyak sinar matahari. Setelah beberapa saat, lanskap berubah. Kami tiba di lapangan terbuka menuju padang rumput. Di sini kami menemukan sebatang pohon besar di tanah. Kulit kayu tua berwarna putih itu terlihat seperti kulit keriput seekor gajah. Hal itu mengingatkan kami pada kisah Barata, Sang Pemburu Gajah, dan itu membuat kami penasaran. Sulit membayangkan bahwa pada suatu waktu, di pulau yang sama (sekarang menjadi rumah bagi lebih dari 148 juta orang dan dianggap sebagai pulau terpadat di dunia), gajah pernah berlarian dengan bebas. Para ilmuwan memiliki pendapat yang bertentangan tentang kapan gajah Jawa (Elephas maximus sondaicus) punah, tetapi kehadiran gajah-gajah ini dijelaskan dalam ukiran Borobudur dan dalam buku semifiksi, Merapi Omahku karya Elizabeth Inandiak.
Jejak industri penambangan pasir berskala kecil di kaki Gunung Merapi dapat ditelusuri kembali ke tahun 1980-an. Belakangan, pemerintah mengizinkan penggunaan alat berat di sungai untuk mengurangi volume material vulkanik ini agar tidak meluap ke lahan petani, atau menyebabkan banjir lebih lanjut di hilir kota. Jika pasir ini ditambang dengan rasa hormat dan hati-hati, maka keseimbangan dapat dipulihkan. Namun, keserakahan manusia tidak mengenal batas. Industri penambangan pasir ternyata merupakan bisnis yang sangat menguntungkan dan seketat apa pun upaya pemerintah mengaturnya, penambang liar tetap beroperasi. Akibatnya, cadangan air habis, sumber air mengering, dan petani sangat kesulitan mengakses air untuk kebutuhan lahan pertanian mereka. Aturan penambangan pasir dan material vulkanik sebenarnya harus dikaji ulang secara berkala oleh pemerintah, tetapi berkat mafia lokal dan aparat penegak hukum yang korup, banyak penambang lolos tanpa dokumen yang layak. Begitu mereka kehabisan material vulkanik di sungai, para penambang mulai mengambil pasir dari lahan warga, mengeruk bukit, mengambilnya dari kawasan Taman Nasional, bahkan mencuri pasir dari bawah hutan (mengakibatkan kerusakan lingkungan yang masif dan memakan korban jiwa). Meski telah bertahun-tahun penduduk lokal mengadakan demonstrasi, protes, dan kampanye menentang praktik yang merusak lingkungan ini, hingga saat ini tidak menunjukkan adanya tanda-tanda keberhasilan.
Di Thailand, Kittima dan Ruangsak mengikuti jejak ke Sungai Mekong yang megah, di mana banyak bendungan telah dibangun di sepanjang sungai, dengan rencana tambahan untuk meledakkan singkapan berbatu untuk memfasilitasi transportasi komoditas, mesin pertanian, serta penggunaan sungai sebagai catu daya. Laju industrialisasi yang cepat demi keuntungan ekonomi sayangnya telah menyebabkan pengabaian kondisi ekologi, dengan berbagai organisme sekarang menghadapi ancaman kepunahan massal. Ruangsak mengacu pada kisah Ta Jung Khung Dang Daeng di atas, sebagai alegori dari berbagai bentuk eksploitasi alam yang terlihat saat ini—pembangunan bendungan untuk keperluan pertanian dan pembangkit listrik menjadi bentuk baru “berburu”, membawa serta mereka menuju eksploitasi sumber daya alam yang cepat dan tidak terkendali, menyebabkan ketidakseimbangan dalam tatanan alam dan terganggunya ribuan nyawa yang bergantung padanya.
Sungai Mekong merupakan bagian penting dari jalur perlintasan lintas batas di Asia Timur dan Asia Tenggara, yang mengalir dari Dataran Tinggi Tibet melalui Cina, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Membentang sekitar 4.350 kilometer panjangnya, sungai ini merupakan sumber makanan bagi lebih dari 70 juta kehidupan serta beragam jenis organisme di berbagai negara Asia Tenggara. Di Thailand, Mekong bertindak sebagai perbatasan alami, mengalir melalui delapan provinsi di wilayah utara dan timur laut. Masyarakat lokal yang tinggal di sepanjang sungai juga memiliki mitos dan legenda mereka sendiri mengenai sungai, berupa cerita rakyat yang berhubungan dengan cara hidup yang unik dan ciri fisik daerah tersebut.
Mengikuti jejak Ta Jung Kung Dang Daeng, Kittima dan Ruangsak belajar lebih banyak tentang bagaimana kisah mitos yang diceritakan sejak sebelum kelahiran bangsa Thailand ini, telah berhasil memotivasi pariwisata di distrik Chiang Khan di Provinsi Loei, tempat kisah ini berada. Dengan pemandangan pegunungan yang indah, anak sungai batu, dan tebing batu yang memisahkan kedua sisi Sungai Mekong (bertindak sebagai garis batas antara Thailand dan Laos), perjalanan dimulai. Perjalanan yang dipantik dari sebuah berita pada Juli 2019, yang menyoroti kekeringan tak wajar di Kaeng Khut Khu, sebuah daerah di Provinsi Loei, sebagai akibat dari pembangunan Bendungan Saiyaburi, bendungan pertama di daerah Mekong bagian bawah, yang berada di titik terdekat dengan perbatasan Thailand.
Terganggunya siklus alami sungai ini menyebabkan fenomena yang disebut “air lapar”, yaitu warna sungai Mekong berubah menjadi biru akibat kurangnya mineral dan endapan lumpur. Bendungan yang baru beroperasi bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi kesehatan Sungai Mekong, mengingat adanya 11 bendungan lain di hulu, di wilayah China, yang telah memengaruhi aliran air selama satu dekade terakhir. Pada bulan Juli 2020, kami berhasil melakukan perjalanan ke situs cerita rakyat Ta Jung Kung Dang Daeng untuk melihat dengan mata kepala kami sendiri perubahan yang terjadi, dengan mencari melalui Google Earth untuk tujuan kami selanjutnya—dari situs asal mula mitos tersebut hingga tempat yang dianggap sebagai titik terdalam dari Mekong, yang secara lokal dikenal sebagai “Pusar Mekong”, di Provinsi Bueng Kan. Banyak area yang kami amati telah berubah jauh dibandingkan dengan citra satelit, menurut kesaksian penduduk lokal, perubahan yang baru saja dimulai ini, titik akhirnya tidak dapat diprediksi oleh siapa pun. Oleh karena itu, pembangunan bendungan merupakan contoh eksploitasi alam secara massal yang dilakukan manusia sebagai “pemburu”.
‘Pada Suatu Waktu’
Di sepanjang jejak kedua pemburu itu, kami menemukan lebih banyak dongeng, mitos, anekdot, dan cerita rakyat. Sebagian besar dimulai dengan “pada suatu waktu”. Dongeng semacam itu biasanya digunakan sebagai sarana untuk mewariskan “local embodied knowledge” dari satu generasi ke generasi lainnya. Yang kami maksud dengan ”local embodied knowledge” di sini lebih kerap disebut sebagai “kearifan lokal” dalam konteks Indonesia; atau sebagai “pengetahuan spiritual lokal” dalam konteks Thailand. Kedua upaya untuk menerjemahkan kata-kata lokal “kearifan lokal” dan ‘ภูมิปัญญาท้องถิ่น’ ke dalam bahasa Inggris, yang bagaimanapun juga tidak akan cukup. Singkatnya, ”local embodied knowledge” kemudian mengacu pada praktik pembelajaran, di mana tubuh menerima “praktik” di tempat tertentu, dengan ritual tertentu. Dapat dipahami bahwa pengalaman mengetahui pengetahuan dan kehadirannya yang terus menerus dalam komunitas—melalui cerita lisan, ritual spiritual atau keagamaan, takhayul cerita rakyat—yang terkadang terpinggirkan atau tidak banyak diajarkan dalam memori budaya dominan kedua negara.
Frasa “pada suatu waktu” digunakan untuk memperkenalkan narasi peristiwa masa lalu atau sesuatu di luar imajinasi seseorang. Dari cerita-cerita yang kami dengar di sepanjang jalan, kami bisa dengan mudah membayangkan seekor naga sebagai makhluk mitos, tetapi ketika merenungkan fakta bahwa kepunahan bisa mengubah gajah Jawa menjadi makhluk mitos, adalah sesuatu yang tidak terpikirkan oleh kami. Sepanjang jalan, kami mendapati diri kami lebih sering menggunakan frasa itu. Melakukan penelitian lapangan menghadapkan kami dengan hilangnya pemandangan indah yang kami alami selama masa kanak-kanak. Sesekali kami akan menunjuk dan berkata, “Apakah kamu ingat, suatu waktu ketika kita masih muda, kita bisa berenang di sungai ini dan sekarang sungai ini hampir mengering?” Karena ekstraksi tanah dan sungai yang terus terjadi selama bertahun-tahun, kami melihat perubahan alam sampai kami tak lagi mengenali tempat yang dulunya adalah taman bermain masa kecil kami.
Perubahan tersebut menjadi perhatian utama kedua seniman tersebut. Melalui penelitian lapangannya, Ruangsak mengeksplorasi transformasi ekologi fisik Sungai Mekong, dan efek dari bendungan yang berlebihan pada kehidupan orang-orang yang hidup berdampingan di sepanjang aliran sungai. Instalasi ”Excavated Gods” memunculkan pertanyaan tentang perubahan cepat yang terjadi di sekitar biosfer yang mengelilingi Sungai Mekong, diorama yang menggambarkan lanskap Sungai Mekong, yang membentang sepanjang 858 kilometer dari Kaeng Kut Ku di Provinsi Loei–tempat kelahiran Ta Jung Mitos Kung Dang Daeng–hingga di ujung perbatasan Sungai Mekong Thailand di Distrik Khong Chiam, Provinsi Ubon Ratchathani. Seniman tersebut menyusuri tepian Sungai Mekong, berhenti di berbagai distrik di sepanjang jalan, serta menyaksikan perubahan permukaan air sungai yang semakin tidak menentu dan tak terduga. Perubahan ini adalah bukti konklusif bahwa ekosistem di sepanjang tepi Sungai Mekong telah berubah. Seniman tersebut mengumpulkan bangkai organisme mati, dari berbagai spesies ikan, organisme penghuni darat, cangkang, hingga vegetasi air tawar yang telah punah karena hilangnya siklus musim. Sisa-sisa ini kemudian menjadi basis diorama yang dipamerkan.
Ruangsak memulai penelitian ini dengan menangkap fotografi digital dari citra satelit untuk menunjukkan ketinggian tanah dan topografi, sebelum kemudian membuat kerangka struktural untuk diorama menggunakan bubur kertas dan menutupinya dengan sampel tanah dari berbagai daerah yang disurvei. Selanjutnya, dia menciptakan kembali Sungai Mekong menggunakan jenis cat khusus berwarna biru yang banyak dijumpai pada lukisan lokal yang ditemukan di wilayah Esan. Cat khusus ini dicampur dengan cat bubuk yang diekstraksi dari mineral yang ditemukan di Cina, di mana 11 bendungan yang didirikan di hulu sungai dan memiliki pengaruh yang sangat besar di daerah hilir. Sisa-sisa hewan yang digunakan untuk membentuk fondasi diorama berfungsi sebagai lapisan bawah yang ditujukan untuk mewakili kekayaan keanekaragaman hayati yang saat ini sedang dihancurkan oleh tangan manusia, karena organisme inilah yang bertanggung jawab atas kelimpahan kehidupan di daerah tersebut. Dengan kata lain, instalasi ini berfungsi sebagai monumen yang didedikasikan untuk lingkungan hijau dan makhluk hidup, yang semuanya telah lama bertindak sebagai pelindung keseimbangan alam Sungai Mekong.
Di samping instalasi ini terdapat patung kaca “17 Million Years – 57 Years”, berfungsi sebagai kapsul waktu yang melindungi ganggang Cladophora, simbol satwa liar Sungai Mekong yang semakin berkurang. Cladophora ini sejenis tumbuhan air tawar yang ditemukan di Sungai Mekong dan dianggap sebagai indikator ekosistem yang sehat. Sumber nutrisi yang kaya untuk musim kemarau, yang dulunya merupakan tanaman ekonomi penting bagi penduduk setempat yang membangun rumah di sepanjang tepi sungai, baik di Thailand maupun Laos. Cladophora dapat ditemukan secara alami tumbuh di bebatuan dan pesisir Mekong, meskipun pembentukan bendungan di bagian hilir sungai—dikombinasikan dengan dampak dari 11 bendungan lain yang dibangun di hulu di Cina—telah menyebabkan kekacauan permukaan air di sungai sejak 2019 yang berdampak pada menurunnya laju pertumbuhan dan berkurangnya jumlah Cladophora. Dalam kapsul waktu ini, sang seniman mencoba untuk merefleksikan beberapa metode terkait bagaimana sistem air ini dapat mempertahankan kelimpahan kandungan alaminya, yang telah terjaga selama jutaan tahun (meskipun benar-benar hancur dalam lima dekade terakhir) sebagai upaya melestarikan simbol kehidupan yang menghilang dengan cepat di Sungai Mekong.
Dalam pameran ini, Ruangsak telah mengumpulkan sampel Cladophora dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Akuakultur Pedalaman Loei, Provinsi Loei, yang dicampur dengan air dari Sungai Mekong. Dia memilih untuk menampilkan sampel dalam botol borat-silikat berlapis ganda, kaca tahan panas yang digunakan dalam eksperimen ilmiah. Bahan apa pun yang ditempatkan di dalam botol akan dapat mempertahankan suhu konstan, yang mengarah ke peningkatan rentang umur dan keabadian. Botol itu ditempatkan di atas pahatan kayu berukir naga, yang diyakini oleh banyak budaya Tenggara sebagai dewa penjaga alam akuatik yang bertanggung jawab untuk menjaga kelimpahan Sungai Mekong (patung kepala naga dari kayu ini juga biasa digunakan sebagai ornamen untuk mandolin, alat musik lokal daerah Esan).
Selain itu, “Beyond Blue” menyajikan dokumentasi video atas informasi fotografi dari citra satelit, yang tampak kontras jika dibandingkan dengan foto lanskap tepi Sungai Mekong yang berubah dengan cepat. Proyek ini bermula ketika Ruangsak melihat foto-foto Sungai Mekong membiru, sebuah fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Secara lokal fenomena ini disebut sebagai “air lapar”, yang terjadi ketika air kekurangan kandungan mineral dan sedimen penting sebagai akibat dari pembangunan bendungan di sumber sungai, mengubah perairan Mekong yang dulu kaya mineral berwarna coklat menjadi biru kehijauan yang menyerupai air laut. Dalam diorama, gambar Homonoia iparia yang sekarat (pohon yang digantungkan oleh koloni ikan yang bermigrasi selama musim banjir) karena telah dihancurkan oleh pergerakan air yang tidak mengikuti musim, ditampilkan secara mencolok. Ruangsak juga tertarik pada bagaimana citra satelit dapat melukiskan gambaran yang sepenuhnya bertentangan dengan kenyataan. Karya video ini merefleksikan kebenaran yang bertentangan, foto yang kelihatannya tidak mencurigakan ini diperoleh melalui penelusuran sepanjang Mekong di komputer, kontras dengan foto dari krisis nyata yang terjadi di sepanjang tepi sungai saat ini. Mungkin terlalu dini bahkan untuk menghitung secara pasti keseluruhan kerusakan yang diakibatkan oleh kepunahan atau hilangnya banyak spesies di wilayah seluas itu; kronik alternatif karya Ruangsak yang bertujuan untuk menyoroti dampak pengejaran atas sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan yang tanpa henti mengeksploitasi sungai sepanjang 4.000 kilometer ini (misalnya, pembangunan pembangkit listrik tenaga air).
Maryanto mengumpulkan dongeng dan cerita hantu yang dialami orang-orang di sepanjang sungai di kaki gunung Merapi, tempat para penambang pasir terus beroperasi. Dongeng dan cerita hantu ini merangkul mitos hewan dari Gunung Merapi yang sering diceritakan saat orang berkumpul di sekitar api, di dalam tenda, atau dalam interaksi sosial secara umum. Maryanto kemudian memilih untuk membuat beberapa instalasi interaktif menyerupai tenda, yang pada permukaan “tenda” ini tercakup dalam lukisan tintanya yang—seketika duduk di dalamnya, Anda mulai mendengar suara-suara yang bercerita tentang makhluk-makhluk halus di seputar Merapi dan hantu-hantu lainnya. Instalasi suara interaktif yang berjudul “Nek Wani Ojo Wedi-Wedi, Nek Wedi Ojo Wani-Wani” (Jika Berani Jangan Setengah Hati, Jika Takut Jangan Bertindak Seakan-akan Berani) mengajak penonton untuk mendengarkan kisah-kisah warga desa sembari duduk di dalam tenda berlukiskan hewan-hewan mistis yang dikelilingi kalimat dalam aksara Jawa. Gaya lukisan hewan mistis yang hampir ikonik ini diambil dari buku ramalan nasib Jawa, atau yang akrab dikenal sebagai “Primbon”.
Instalasi tenda lainnya, yang berjudul “Urip Iku soko Sopo?” (Siapa yang Memberi Kehidupan?) menyajikan struktur tenda berketinggian rendah khas tempat penampungan sementara penambang pasir untuk peralatan mereka seperti cangkul, serok pasir, dan kerikil atau pasir itu sendiri. Di dalam tenda terdengar karya berbasis suara lain yang mencerminkan keprihatinan Maryanto akan dampak penambangan pasir terhadap kerusakan alam di sepanjang sungai di lereng Gunung Merapi. Suara di dalam tenda tersebut merupakan sebuah cerita yang tersebar diantara penduduk setempat, tentang bagaimana sembilan truk terkubur oleh semburan lumpur (cerita ini juga tampak pada salah satu lukisan yang terpajang dalam pameran ini); dan ingatan atas cerita ini seolah menunjukkan bagaimana alam kerap memberi peringatan atas tindakan eksploitasi, dalam bentuk lumpur yang menenggelamkan truk, dan bahkan merenggut nyawa para penambang.
Orang yang percaya pada suatu bentuk kearifan ekologi akan menyebut siklus letusan Gunung Merapi sebagai berkah, siklus pembaruan, dan kemakmuran. Bahwa setelah setiap letusan, tanah akan menjadi lebih subur dari sebelumnya, panen berikutnya akan lebih baik, dan material vulkanik dapat diambil secukupnya. Industri penambangan pasir skala kecil dapat ditelusuri kembali ke tahun 1980-an. Belakangan, pemerintah mengizinkan penggunaan alat berat di sungai untuk mengurangi volume material vulkanik agar tidak meluap ke lahan petani atau menyebabkan banjir material di hilir kota. Jika material vulkanik diambil dengan hati-hati, keseimbangan dapat dipulihkan. Namun, keserakahan manusia tidak mengenal batas. Kegiatan penambangan besar-besaran dengan demikian dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap alam.
Lukisan bertajuk “Sing Bahurekso Gunung Merapi” (Penguasa Gunung Merapi), adalah lukisan pertama yang akan ditemui saat memasuki ruang galeri, menyingkap multiimajiner Gunung Merapi, yang menggambarkan berbagai gambar letusan gunung berapi ini yang terkumpul dari berbagai ingatan penduduk lokal. “Ojo Adigang Adigung Adiguna” adalah lukisan berskala besar yang menghadirkan aliran sungai material vulkanik Gunung Merapi pascaerupsi besar pada tahun 2010. Lajur-lajur jalan yang tercipta oleh kehadiran truk-truk penambang pasir telah menjadi bagian dari lanskap, perwujudan dari kesombongan manusia yang ingin menjajah dan menaklukkan alam. Lanskap buatan manusia ini terlukis tanpa kehadiran manusia, tetapi berbagai peralatan mereka hadir sebagai perlambangan dominasi industrialisasi atas hubungan saling hormat antara manusia dengan dunia mistis yang sebelumnya terwujud. Tiga lukisan lainnya lebih jauh mengungkap aktivitas penambangan pasir ilegal dan bagaimana industri ini mengukir lanskap di sepanjang sungai vulkanik. Dalam gambar-gambar ini, penolakan terhadap sosok manusia sangat terasa. Nuansa spasial lukisan memberi kesan berada di lanskap aneh yang sulit dibedakan sebagai buatan manusia atau alam. Perspektif yang tampak datar dan sentuhan arangnya memburamkan imaji, seolah-olah menghadirkan cerita rakyat dalam perwujudan yang nyaris nyata. Jalanan yang dibuat oleh truk penambang pasir terlihat tidak bisa dibedakan dengan aliran sungai. Namun, begitu melihatnya secara detail, hal tersebut memicu keingintahuan: “Kenapa banyak truk? Di mana orang-orang? Apa yang sedang terjadi?”
Dalam konteks Proyek Pollination ini, kearifan lokal secara khusus dieksplorasi dalam kaitannya dengan gagasan ekologi manusia dan lingkungan alaminya. Kami ingin memahami bagaimana praktik kearifan lokal berusaha untuk menyeimbangkan keinginan manusia dengan kesadaran atas akibat yang akan dihadapi, mencoba untuk menyajikan cara-cara di mana dampak produksi manusia dapat atau harus diukur secara berkelanjutan. Inilah saatnya untuk mempertimbangkan kembali kehidupan konsumsi kita dengan menyatukan kembali diri kita dengan alam. Pertanyaan tentang bagaimana mengatasi krisis ekologi kita yang dihadapi saat ini mungkin akan sulit untuk dijawab, tetapi kita harus mengakuinya sebagai konsekuensi dari akumulasi kebiasaan ekstraktif kita, ketergantungan kita pada masyarakat industri yang dianggap sebagai elemen fundamental dari kehidupan modern. Bagaimana mengatasi krisis ini dapat dijawab dengan mempelajari multiplisitas konteks yang telah kita tinggalkan untuk mencapai konsep dan pengetahuan tunggal atas kehidupan modern, multiplisitas konteks ini, yang kami rujuk di sini sebagai kearifan lokal, sebagian besar terpinggirkan oleh pemaksaan pemikiran tunggal atas pengetahuan ilmiah dari Barat.6
“The Hunters” adalah sebuah pameran yang berusaha untuk memahami hubungan antara manusia dan alam sekitarnya, mengacu pada pembelajaran yang diperoleh melalui pengalaman badan dalam keadaan tertentu, serta yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam bentuk ritual lokal, upacara, dan kepercayaan pada hal-hal gaib. Para seniman telah membenamkan diri dalam budaya lokal ini, belajar dari cerita mereka, merefleksikannya dalam seni mereka. Pameran ini juga menghadirkan proses penelitian artistik kedua seniman ini melalui wawancara yang dilakukan dengan penduduk sekitar kawasan Mekong, rekaman perjalanan dari penelusuran di bawah Gunung Merapi, sketsa-sketsa yang dibuat oleh para seniman, serta dokumen penelitian, laporan penelitian kurator, artikel, dan berbagai teks lain. Selain itu, sebuah rekaman video percakapan antara dua seniman, selanjutnya mengungkap seni mereka sehubungan dengan gagasan “pemburu” yang turut hadir dalam pameran ini.
Meskipun kita biasanya mengacu pada lingkungan alam kita, melalui lamunan “Ingat seperti apa tempat ini dulu?”, kita perlu menyadari peran nostalgia sebagai sebuah usaha mengakui peran kita sendiri dalam transformasi dan kerusakan alam. Pada satu sisi, kearifan lokal yang terkandung adalah sejenis perangkat yang dapat mendorong kesadaran tersebut, penggabungan pemburu lokal menjadi makhluk mitos merupakan cara kami untuk merujuk pada keagungan gunung berapi dan sungai, dengan penuh rasa hormat.
Tentang ‘Of Hunters and Gatherers’
Pada hari pertemuan in-situ pertama kami untuk proyek Pollination #3 dimulai, ketika itu pula kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan. Di Thailand, hal itu telah diumumkan beberapa minggu sebelumnya. Krisis ini meningkat menjadi status pandemi global dan pengalaman kolektif global, yang menyoroti kinerja sistem dan kemampuan pemerintah dalam menghadapi masa-masa kritis. Pada saat yang sama, pandemi ini tidak lepas dari krisis lingkungan bumi. Sesuatu yang awalnya hanya menginfeksi hewan7 ditularkan ke manusia dan dengan segera bermutasi menjadi banyak wujud, atau jenis yang berbeda sebagai respons terhadap mobilitas dan pergerakan manusia, virus kemudian dapat dilihat sebagai bentuk serangan yang dipaksakan oleh bumi untuk mendorong terjadinya jeda demi pertumbuhan. Saat perbatasan ditutup dan “lockdown” diberlakukan, mobilitas dibatasi untuk tujuan yang lebih baik. Alih-alih memperluas cakupan geografis penelitian kami, kami mencoba untuk menggali lebih dalam dan berfokus pada”kearifan lokal” dan bagaimana menyeimbangkan keinginan manusia atas kebendaan yang dapat mengukur dampak secara berkelanjutan baik bagi manusia maupun non-manusia. Alih-alih terbang melintasi laut dan memperluas cakupan geografis penelitian kami, kami mengikuti jejak sungai-sungai dan pegunungan lokal, pulau yang tenggelam dan pemakaman di halaman rumah, ke taman rumah dan kasus deforestasi di seluruh Asia Tenggara, dan persoalan lingkungan lainnya yang lebih dekat dengan rumah.
‘Of Hunters and Gatherers’ mengajak kita untuk terhubung/berjalinan dengan alam, berangkat dar metodologi artistik Maryanto dan Ruangsak Anuwatwimon, yang dieksplorasi sebagai pameran bertajuk “The Hunters”, di MAIIAM Contemporary Art Museum pada Maret-April 2021. Bersamaan dengan itu, gagasan kearifan lokal ditulusuri lebih jauh melalui simposium diskursif online bertajuk “The Gathering”, dengan Selasar Sunaryo Art Space dan The Factory Contemporary Art Centre sebagai tuan rumah. Di saat yang sama acara tersebut bertepatan dengan peluncuran situs daring, berjudul “Of Hunters & Gatherers”, pada Mei 2021 dengan kontribusi tulisan dari Tita Salina, Sutthirat Supaparinya, Prilla Tania, The Forest Curriculum, Wut Chalanant (seniman); juga Elizabeth D. Inandiak, Adam Bobbette, JJ Rizal, dan Napak Serirak (penulis, akademisi); kontribusi dari seniman Maryanto dan Ruangsak Anuwatwimon, serta kurator Kittima Chareeprasit dan LIR (Mira Asriningtyas & Dito Yuwono).